Tuesday, June 4, 2013

Buat apa marah?

BBM pesanan saya terima dalam-dalam. Tertera alamat sang pemesan. Sebuah perumahan elit. Tercatat jelas di otak rute yang harus dilalui. Jika tersasar, gampang, tanya saja satpam. Buku yang pernah saya baca tentang konsumen, mengatakan bahwa konsumen itu adalah raja. Buku juga bilang jika kita berjanji dengan konsumen hari kamis, tetapi hari selasa atau rabu kita bisa mengirim barangnya, konsumen akan puas dengan pelayanan kita. Customer satisfaction bahasa kerennya. 

Dengan maksud menerapkan teori buku itu, saya mengantarkan pesanan hari senin. Saya memang janji mengantarkan pesanannya hari rabu, tapi senin malam saya berusaha mengantarkan dengan harapan memberi "kejutan". Kebetulan senin malam juga mengantar ke arah yang sama. Sempat tersasar, tapi beruntung satpam sigap memberi jawaban. 

Tak ada bel di rumah mewah itu. Beberapa kali di panggil juga tak ada sautan. Beruntung sang tuan rumah membuat spanduk usahanya di teras. 08xxxxx saya pencet. Lama terhubung, akhirnya diangkat juga. Saya ucapkan salam dan memberi tahu maksud kedatangan. Saya juga minta maaf jika malam-malam datang mengganggu. Di ujung telpon, sang tuan rumah tidak berkenan menerima barang pesanannya. Alasannya kok malam-malam? "Saya pamali menerima pesanan malam-malam" ujarnya di seberang sana. Saya lihat jam belum genap bergeser dari angka 8. "Padahal masih pagi" gundah saya. HP saya tutup. Tak lupa saya meminta maaf lagi. "Kejutan" yang saya siapkan ternyata "mengejutkan" saya sendiri. Di jalan arah pulang, saya sempatkan berhenti sejenak. Mengirim pesan pendek meminta maaf lagi. Saya juga sampaikan jika memang tidak jadi membeli barangnya, tidak jadi soal.

Sepanjang jalan arah pulang saya banyak berpikir. Awalnya saya kecewa sekaligus marah. Marah terhadap situasi. Marah terhadap diri sendiri. Tapi lamat laun, saya juga menyadari ternyata marah tidak menyelesaikan masalah. Saya malam itu belajar apa arti sebuah konfirmasi. "Jika memang sudah rejeki, gak akan kemana" batinku yakin. Sesampai di rumah, pesan pendek masuk lagi dari sang tuan rumah itu. "Kalau Anda tidak berminat jual juga gak papa" begitu bunyi pesannya. Saya berusaha memahami maksud pesan itu. Saya sudah tidak lagi memendam amarah. Saya release, saya legowo, apapun yang akan terjadi. Akhirnya saya bersepakat untuk mengirim barang pesanannya selasa pagi, jam 8an. Dan tepat hampir setengah 9 saya mengirimkan. Rupanya sang tuan rumah sudah menunggu. Barang saya serahkan sambil (sekali lagi) minta maaf. Sang tuan rumah terlihat masih menyimpan "kekesalan" semalam. "Makanya kalau mau antar jangan malam-malam" ujarnya. Saya amini ucapannya dengan anggukan pertanda setuju. Dia menyerahkan uang 50,000. Lalu saya kembalikan 6,000 karena harganya memang 44,000. Sebelum saya beranjak dia sempat tanya ini itu. "Mungkin basa-basi" batinku. Ketika saya akan melangkah, dia mengatakan untuk mengambil kembalian 6,000 sebagai biaya kirim. Saya menolaknya. Saya kasih tahu, kalau harga itu sudah termasuk ongkos kirim. Pagi itu saya belajar #integritas. Terserah dia mau berkomentar apa terhadap penolakan saya. Itu sikap saya. Dan sikap saya tidak bisa dibeli oleh sang tuan rumah.

Sejak kejadian semalam hingga pagi saya belajar banyak hal. Ternyata beda manusia, beda keinginan. Beda kepala, beda pula perlakuannya. Jadi ingat pelajaran pertama Mom Han di vihara beberapa waktu lalu. Kalau kita berubah, maka dunia berubah. All is Well. Gitu aja kok repot!

 

 

No comments: