Tuesday, April 16, 2013

Gratisan

Siapa sih yang gak mau dapat barang tapi gak bayar alias gratis? Pasti semua orang mau. Lihat saja tiap kali ada sale atau diskon, pasti selalu dikerubuti orang. Biasanya menjelang lebaran, akhir tahun, atau malah tak jarang tiap akhir bulan, memanfaatkan orang habis gajian. Promo gratis, semua produk pasti sudah lazim. Dari mulai perang spanduk, iklan, bilboard, dll sering kita jumpai di jalanan. Terlebih produk telekomunikasi. Bilboardnya bisa jejeran di jalanan saling menawarkan layanan gratis. Telpon gratis sesama Ax**s, telk**s*l, bla bla. 

****

Ngomongin soal gratisan, jadi ingat cerita kawan, Sebut saja namanya Bunga. Tapi bukan korban perkosaan yang biasa ditulis koran. Terlebih, Bunga yang ini berjenis kelamin laki-laki. Bunga sudah berkeluarga, dengan tiga orang anak, satu istri tentunya. Dulu Bunga dan keluarga hidup bersama di Jakarta. Tapi seiring biaya hidup yang makin tinggi di Ibukota, Bunga "memulangkan" istri dan ketiga anaknya di kampung halaman, Jawa Tengah. Bunga menjadi tulang punggung keluarga, sementara istrinya menjadi ibu rumah tangga menjaga ketiga anaknya. Hidup irit, makan sederhana menjadi kunci di ibu kota. Jika tidak, dapur rumah gak bisa ngepul. Sayangnya, saking ingin membahagiakan orang rumah, semua cara dipakai. Hidup bunga cenderung pragmatis. Semua cara dipakai, asal menguntungkan, meski cara itu tidak benar. Intinya hidup Bunga ingin enaknya saja. Termasuk soal makan jika bisa dia makan gratis alias ada yang bayarin. Mentalitas gratisan dia muncul seiring kebutuhan. Tapi menurutku ini gak sehat. Sama sekali gak sehat. Bahkan saking ngiritnya, ketika sakit, Bunga tak mau dirawat di RS. Alasannya apalagi kalau bukan ketakutan habis uangnya. Dan benar saja, ketika badannya turun mesin, Bunga tak mau ke RS. Padahal semua jenis obat warung yang biasa diminum tak manjur. Klinik murah dekat rumah juga nihil. Dokter klinik merujuk Bunga untuk di rawat di RS. Tapi dia tak bergeming. Karena sakit ini, Bunga tak masuk kantor hampir sebulan lebih. Kekurangan uang sering kali aku dengar jika dengar cerita kondisi terakhir dia. Padahal menurutku, kalau saja gajinya di manaj dengan baik, dia tidak akan kekurangan. Mosok biaya rumah sakit karena sakit sendiri, juga harus kita-kita yang bayarin? Yang bener aja? Kencing aja bayar!!

*****
Lain Bunga, lain lagi Bruto. Sebut saja begitu. Bruto pemuda desa baru saja lulus SMA. Sebagai anak petani, Bruto sadar betul, orang tuanya tak mampu mengirim dia ke perguruan tinggi untuk kuliah. Hingga tiba tawaran dari sebuah institusi dari ibukota untuk memberikan kuliah gratis. "Bahkan selain kuliahnya gratis, kami juga menyediakan pemondokan gratis, belum lagi tiap bulan kami berikan tunjagan uang, beras, lauk-pauk, pokoknya tinggal belajar saja" begitu cerocos pegawai kampus ibukota berpromosi. Orang tua Bruto terkesima. Bruto terkesima. Orang sekampung yang berkumpul di lapangan juga terkesima. Hingga tiba waktunya Bruto dan beberapa teman sekampungnya melancong ke ibukota untuk kuliah. Tahun pertama dilaluinya dengan baik. Semangat belajarnya tinggi. Terbukti nilai IP-nya paling tinggi di kelas. Lingkungan kampus yang dinamis, memacu motivasi belajarnya. Tapi seiring waktu, Bruto mulai berulah. Pergaulan dengan kakak kelasnya merubah semuanya. Kakak kelasnya selalu mengatakan bahwa kuliah disini tak harus belajar sungguh-sungguh. "Toh sebetulnya yang butuh kita itu sebenarnya kampus ini. Biar ramai, biar keliatan banyak mahasiswanya". Bruto pun mulai gontai ke kampus. Motivasi belajarnya sudah tidak ada lagi. Dia merenungkan dengan seksama apa yang diucapkan seniornya. "Ada betulnya omongan itu" gumannya. "Kalau memang gak kenapa kampus ini begitu baik memberikan biaya kuliah semuanya gratis". Keseharian Bruto sudah berganti. Bruto sering bolos kuliah, hanya sekedar nongkrong di warung depan menghabiskan jatah tunjangan bulanannya. 

*****
Dari pengalaman itu, saya makin meyakini bahwa yang namanya gratis itu asas manfaatnya pasti tidak ada. Karena gratis, apalagi gratisan, orang pada akhirnya kurang menghargai dengan barang yang dia dapat. Tentu berbeda ketika mendapatkannya dengan penuh perjuangan. Keponakan seorang kawan yang masih SD berhasil membeli handphone idamananya dengan hasil tabungannya. Sedikit demi sedikit dia sisihkan uang jajannya. Dia bangga dengan jerih payahnya meski harus memecahkan celengan ayam jantannya. Pasti berbeda cerita jika handphone itu dibelikan langsung orang tuanya. Dia kemana-mana selalu pamer jika handphone itu dia beli sendiri. Dari sini, kita belajar bahwa untuk mendapatkan sesuatu itu butuh proses. Tidak gratis. Harus ada hal yang diperjuangkan, bukan datang dengan sendirinya. Bukan proses yang gratis, apalagi gratisan.

*)ditulis di pinggir jalan sambil menunggu seorang kawan.

2 comments:

Chuang said...

Yah, memang susah ttg gratisan ini. Kadang maksud orang dgn memberikan gratisan adalah utk membantu, tapi di sisi lain bisa diremehkan sbg sesuatu yg gratisan. Padahal seharusnya tidak perlu dipandang dari segi materi melulu. Karena apa yg diberikan gratis, misalnya suatu pengajaran ilmu atau jalan hidup, seharusnya dipandang bukan GRATIS, tapi TAK TERNILAI.

hidoep@perjoeangan said...

Betul. Celakanya si pemberi memberikan gratis, sementara si penerima kurang bisa menghargai kegratisan ini.