Jika sebuah ukuran moralitas suatu bangsa diukur oleh sebuah UU yang digelontorkan satpol susila, maka jawabannya adalah kebanyolan semata. Apalagi ditangan Butet dkk dari Teater Gandrik. Itulah yang terekam dalam karya Teater Gandrik ke-19, Sidang Susila (SS). SS dibuka dengan lakon seorang laki-laki gendut berjalan memikul balon mainan anak-anak. Badannya besar, perut besar, juga dengan dada yang besar yang dalam bahasa Butet, susunya kimplah-kimplah. Nama lengkapnya Susila Parna (Susilo Porno). Melihat ada tayub, otomatis insting dagangnya mendekat ke pusat keramaian itu. Tak kuasa mendengar musik tayub, dia pun ikut nyibing. Karena kepanasan, ia buka bajunya. Bertelanjang dada! Namun ditengah keasyikannya, dia lupa kalau satpol moral sedang melakukan razia besar-besaran. Razia ini sebagai runutan dari pelaksanaan UU Susila. Dengan dandanan gabungan antara polisi Mataram dan pemadam kebakaran, Satpol Susila berusaha menangkapi penari tayub. Sial bagi Susila. Ia asyik ngibing. Ia tidak menyadari razia ini hingga akhirnya tertangkap sementara penari tayub berhasil kabur. Susila didakwa pasal berlapis. Melakukan tindak pornoaksi membiarkan dadanya terbuka, menjual mainan yang "menggoda" orang lain untuk melakukan tindakan yang berbau porno. Termasuk dugaan menyebarkan pikiran-pikiran porno kepada orang lain. Padahal cuma jualan balon.
Segera Susila diinterogasi, dimasukkan ke sel dan diperlakukan sebagai pesakitan yang menjijikkan. Dia dianggap lebih berbahaya daripada seorang psikopat. Di sel ia hanya ditemani sebuah WC duduk dan meja kecil. Adegan detail buang hajat diperankan Susila alias Susilo Nugroho dengan baik.
Sidang pertama digelar dengan berbagai pertanyaan mendasar. Nama, pekerjaan, dll. Ada adegan menggelikan dalam sidang pertama ini. Ada jaksa, ada hakim, dan tentu ada pembela. Pembela diperankan kenes bin kemayu oleh Butet. Ternyata Butet adalah keponakan dari Susila. Jadilah konflik kepentingan tentu terjadi. Entah disengaja atau tidak, mungkin karena keasyikan "berakting" beradu argumen layaknya di persidangan beneran, hakim ternyata lupa memukul palu sebagai tanda sidang dibuka. Tok. Tok. Tok. Weleh.....weleh. Kok bisa gitu lho. Kalau tidak Gandrik gak bisa improvisasi kali ya. Yang ada akhirnya tertawaan penonton belaka.
Diluar sel, ternyata dukungan terhadap Susila membanjir. Masyarakat menilai penangkapan Susila tak lebih dari sebuah konspirasi semata. Dia dianggap sebagai pahlawan perlawanan dan tak jarang yang mengidolakan Susila. Banyak warga yang menginginkan agar Susila segera dibebaskan. Di dalam penjara, Susila dijaga dua orang sipir. Sambil menjaga Susila, mereka taruhan main catur. Ternyata salah satu dari mereka menang berkat bantuan Susila dari balik terali sel. Lantas mereka beradu bidak catur. Lamat-lamat, ternyata sang sipir adalah pembeli setia mainan yang dijual Susila sejak kecil. Sebagai bentuk terima kasih, sang sipir membuka pintu sel dan meminta Susila melarikan diri. Geger kaburnya Susila memancing reaksi besar-besaran satpol Moral. Mereka menganggap kaburnya Susila ditunggangi oleh GAM (Gerakan Anti Moralitas) dan OPM (Organisasi Pendukung Maksiat). Satpol Moral diperintahkan untuk tembak ditempat bagi apa saja, siapa saja yang dicurigai menyebarkan anti moralitas. Hingga akhirnya satpol moral kecewa berat karena tidak mampu menemukan Susila untuk disidangkan kembali.
Sidang kedua, hakim langsung mengetuk palu pertanda dimulainya sidang terhadap Susila. Namun karena Susila belum tertangkap, akhirnya sidang tetap dilanjutkan secara in-absentia. Barang bukti yang dibawa adalah kloset bekas Susila di kamar sel. Dokter yang diminta hakim untuk memeriksa barang bukti mengatakan." Pak hakim saya tidak menemukan sidik jari Susila, tapi saya menemukan sidik tai Susila". Penonton pun terbahak mendengar banyolan ini.
Aksi teaterikal kali ini memang ingin menohok keras terhadap RUU anti pornografi & pornoaksi yang belum lama ini diperdebatkan. Ditulis seorang anti RUU ini, Ayu Utami, naskah yang semula ditulis untuk monolog Butet ini disempurnakan Agus Noor untuk menjadi sebuah teks teater yang menarik sekaligus menggelitik tanpa harus berpikir picik. Menurut Ayu Utami, pornografi itu menyerupai kegilaan. Tapi kegilaan adalah cermin pengukur kewarasan kita. Seperti orang gila, ia tidak boleh dibunuh. Ia hanya perlu dibatasi, agar bisa bermain di wilayah aman.
No comments:
Post a Comment