Hari itu aku tak sengaja aku dengar radio 68H. Jauh disana penyiar cuap-cuap tentang band indie. Sembari mengerjakan tugas kuliah aku dengarnya pun sepintas lalu. Sayup-sayup aku dengar kalau nama band ini adalah Efek Rumah Kaca (ERK). "Hah? " dalam hati. "Apa gak ada nama lain." "Apa udah gak ada ide lagi untuk cari nama?". "Apa jangan-jangan karena lagi ramai pemanasan global alias global warming?". "Band aneh" pikirku. Masih seklumit-klumit aku dengar obrolan mereka.
Tapi begitu beberapa lagu diputar, aku merasa band ini memang "aneh". Benar-benar menarik.
Beberapa lagunya pun kini banyak diputar di radio-radio swasta. Tiap hari pasti selalu ada. Padahal band indie. Artinya keberadaan mereka dinanti dan dinikmati pendengar.
ERK digawangi Cholil (vokal/gitar), Adrian (bass) dan Akbar (drum). Sempat ganti nama Hush (2001) dengan lima personil, lalu menjadi "Superego", dan akhirnya berubah menjadi Efek Rumah Kaca (2006).
ERK menyajikan yang beda dengan yang lain. "Beda" inilah yang membedakan ERK dengan yang lain. Jika selama ini band ini menyajikan tema cinta sebagai menu utama, tidak demikian dengan ERK. ERK mengusung tema dari masalah gay, pemanasan global, konsumerisme, HAM (Munir), hingga kritikan pedas terhadap tema lagu-lagu cinta yang masih menjadi perhatian penikmat musik tanah air. "Belanja Terus Sampai Mati", menohok perilaku belanja-belanji dan gaya hedon bin konsumerisme masyarakat kita.
"Di udara" adalah lagu yang didedikasikan untuk alm. Munir. Mau tahu syairnya:
Ku bisa tenggelam di lautan
Aku bisa diracun di udara
Aku bisa terbunuh di trotoar jalan
Tapi aku tak pernah mati
Tak akan berhenti
Atau lagu "Cinta Melulu" yang merupakan sindiran untuk lagu-lagu cinta dan perselingkuhan yang kini marak menghujam mata dan telinga kita dari pagi hingga pagi lagi.
Lagu cinta melulu
Kita memang benar-benar melayu
Suka mendayu-dayu
Apa memang karena kuping melayu
Suka yang sendu-sendu
No comments:
Post a Comment