

"Udah gak sekolah Om" jawabnya cekat.
"Kenapa gak sekolah" balasku.
"Gak tau Om" jawabnya enteng.
"Pernah sekolah?" tanyaku selidik.

Daripada pusing mikirin mereka yang ada di lampu merah, aku lanjutkan obrolan sambil ambil gambar.
"Uangnya buat apa?" tanyaku ditengah deru gelombang menghantam.
"Semua buat emak Om" jawabnya mantap.
"Gak buat jajan?" tanyaku lagi.
"Gak Om, semua buat emak, buat kebutuhan emak" ujarnya mantap.
Setelah jawaban itu, aku mengangguk-angguk. Betapa lapangnya hati anak ini. Walau mesti harus berjuang di tengah kaku kedinginan, namun ia tak mengeluh mencari sesuap rezeki untuk ibunda tercinta. Aku lanjutkan kaki karena masih harus mengambil beberapa gambar kedasyatan gelombang menghantam salah satu pesisir Jakarta ini. Di sisi lain, gelombang tinggi memperparah pesisir Cilincing. Di tempat itu juga terdapat beberapa kapal tongkang bekas milik Pertamina. Menurut penduduk setempat, kapal-kapal bekas ini akan dijadikan besi bekas. Kapal tongkang yang bersandar pun berdentangan keras ketika gelombang menghantam. Bunyinya tak usah di tanya. Mengerikan sekali. Siang saja begitu keras, apalagi malam hari ya? Tak terbayangkan deh. Mana nyenyak ya tidur di bawah dentuman kapal tongkang??? Sepanjang perjalanan kembali ke kantor aku masih terngiang obrolan dengan Tardi. "Semua buat Emak Om". Tardi seakan memperingatkan aku untuk tidak saja berbakti kepada orang tua, namun juga mensyukuri apa yang sekarang ini aku dapatkan!
No comments:
Post a Comment