Monday, February 11, 2008

Tardi; Bocah Pengabdi Gelombang!

Namanya Tardi. Umur 12an tahun. Rambutnya lurus merah kekuningan terbakar matahari. Perawakan agak kurus. Walau begitu semangatnya luar biasa. Di tengah hujan rintik dan hantaman gelombang laut tinggi, ia ditemani adik sepupunya, Budi, sebut saja begitu, mengais serpihan besi karat yang terbawa arus di pinggiran laut Cilincing, Jakarta Utara. Gelombang tinggi disatu sisi menghancurkan sebagian besar pesisir dekat rumahnya. Di sisi lain, ketekunan Tardi & Budi memanfaatkan ganasnya gelombang laut menjadi recehan rupiah.
"Kamu kelas berapa" tanyaku.
"Udah gak sekolah Om" jawabnya cekat.
"Kenapa gak sekolah" balasku.
"Gak tau Om" jawabnya enteng.
"Pernah sekolah?" tanyaku selidik.
"Pernah Om, tapi cuma sampai kelas IV. Itu udah lama banget Om" ujarnya sambil memindahkan besi karat yang menempel pada magnet besarnya. Magnet besar inilah yang menjadi satu-satunya alat kerja Tardi dan Budi. Sehari mereka biasanya dapat mengumpulkan tak kurang dari 50 kg serpihan besi. Mau tau harga sekilonya berapa? Cuma 200 perak. Gila kan? Berarti Tardi & Budi cuma dapat 10 ribu sehari. Padahal resiko yang dihadapi Tardi & Budi tak sebanding dengan ribuan sepuluh itu. Tardi & Budi harus menantang deru laju gelombang tinggi yang menerjang mereka. Terseret arus bisa saja fatal. Tapi aku pikir, apa yang dilakukan Tardi & Budi jauh lebih bermartabat daripada serbuan ibu-ibu mengiba sambil menggendong bayi di lampu merah. Tak jarang bayi-bayi itu adalah bayi sewaan. Mau tahu umur mereka? Usia produktif!!! Beda jauh dengan Tardi & Budi yang harusnya di bangku sekolah.
Daripada pusing mikirin mereka yang ada di lampu merah, aku lanjutkan obrolan sambil ambil gambar.
"Uangnya buat apa?" tanyaku ditengah deru gelombang menghantam.
"Semua buat emak Om" jawabnya mantap.
"Gak buat jajan?" tanyaku lagi.
"Gak Om, semua buat emak, buat kebutuhan emak" ujarnya mantap.
Setelah jawaban itu, aku mengangguk-angguk. Betapa lapangnya hati anak ini. Walau mesti harus berjuang di tengah kaku kedinginan, namun ia tak mengeluh mencari sesuap rezeki untuk ibunda tercinta. Aku lanjutkan kaki karena masih harus mengambil beberapa gambar kedasyatan gelombang menghantam salah satu pesisir Jakarta ini. Di sisi lain, gelombang tinggi memperparah pesisir Cilincing. Di tempat itu juga terdapat beberapa kapal tongkang bekas milik Pertamina. Menurut penduduk setempat, kapal-kapal bekas ini akan dijadikan besi bekas. Kapal tongkang yang bersandar pun berdentangan keras ketika gelombang menghantam. Bunyinya tak usah di tanya. Mengerikan sekali. Siang saja begitu keras, apalagi malam hari ya? Tak terbayangkan deh. Mana nyenyak ya tidur di bawah dentuman kapal tongkang??? Sepanjang perjalanan kembali ke kantor aku masih terngiang obrolan dengan Tardi. "Semua buat Emak Om". Tardi seakan memperingatkan aku untuk tidak saja berbakti kepada orang tua, namun juga mensyukuri apa yang sekarang ini aku dapatkan!


No comments: