Hari itu kami liputan seperti biasa. Jadwal sudah kami buat sedemikian rupa sesuai dengan jalur transportasinya. Setidaknya ada tiga tempat yang memang harus kami tuju. Lokasi satu dan dua berjalan sesuai rencana. Segera setelah itu kami pun meluncur ke Suaka Marga Satwa Muara Angke (SMMA). Taman alami satu-satunya di Jakarta. Di taman ini masih terdapat satwa monyet ekor panjang, burung air, manggrove, dll. Siapapun yang masuk ke taman alami ini harus memiliki ijin, yang dikeluarkan dinas terkait.
Segera setelah memarkir kendaraan kami langsung masuk ke SMMA. Ketika kami datang, sebagian pekerja tengah sibuk merenovasi pintu masuk SMMA, termasuk pemasangan papan nama SMMA yang baru. Kebetulan salah satu polisi hutan mengawasi jalannya pemasangan papan nama ini. Namanya Pak Edy.
"Pak kami ingin mengambil gambar di dalam SMMA" ijin Irena, temanku ke Pak Edy.
"Udah ada ijin" tanya Pak Edy.
"Belum Pak" ujar Rena.
"Kalau mau masuk SMMA harus ada ijin, apalagi liputan seperti ini" terang Pak Edy.
"Iya sih Pak, tapi kami hanya sebentar kok". "Gak lama Pak". "Lagian kami hanya menambah gambar yang kurang" bujuk Rena.
"Coba telpon ke kantor deh, ini nomernya" terang Pak Edy. "Bukannya apa, nanti takutnya ada apa-apa, saya yang tidak enak".
Akhirnya setelah lobbying yang ramah, kami pun diijinkan masuk ke SMMA dengan ditemani Pak Edy.
Begitu kami masuk, ternyata sudah banyak perubahan. Dulu jalan bambu yang menjadi jalan masuk ke dalam SMMA, diganti kayu. Beberapa bagian bangunan juga di renovasi. Suasananya masih sama. Asri. Pohon bakau masih tumbuh di kanan kiri. Beberapa monyet juga menyambut kami. Namun disisi sungai terlihat beberapa gubuk liar nelayan. Hal ini tentu merusak kesejukan SMMA. Sekedar informasi, gubuk liar ini pernah ditertibkan beberapa waktu yang lalu.
Setelah memilih view yang kami anggap tepat, PTC pun kami lakukan. Walau harus dilakukan beberapa kali, akhirnya selesai juga tugas ini. Sebelum bergegas, aku masih menyempatkan diri mengambil gambar monyet yang saling mencuri kutu sambil menggendong anaknya yang masih kecil.
Setelah pamit ke Pak Edy, kami pun bergegas ke mobil. Tapi alangkah terkejutnya kami ketika mendapati kaca belakang sebelah kiri hancur berserakan. Bekas congkelan dan hantaman batu masih tersisa.
"Ya Allah" pekik Rena. "Gila tas g diambil" ujarnya setelah melongok ke dalam mobil.
"Apa aja isinya Ren" tanyaku. "Semua ilang, dompet, hp, atm Mas" ujar Rena.
"Ya udah tenang dulu" ujarku menghibur. "Iya, wah sialan tuh orang" umpat Rena kesal.
Kejadian itu berlangsung sangat singkat. Padahal kami meninggalkan mobil tak lebih dari 20 menit.
"Ya udah kita mampir BCA dulu deh" pinta Rena. Namun sayang BCA yang ada di kompleks perkantoran itu tidak ada petugas.
"Lagi makan siang Mbak" ujar salah satu teller. "Hah makan siang?" tanyaku dalam hati. Padahal sekarang kan udah jam 3 sore. Sial.
Di perjalanan kami masih membahas bagaimana pencoleng itu beraksi.
"Masih untung Mas, kamera gak di ambil" hibur Rena.
"Iya sih, namanya juga musibah" timpalku.
Kejadian yang kami alami, tentu menjadi bahan pelajaran berharga bagi semua orang untuk terus waspada di tengah kejamnya kehidupan kota besar.
Memang benar kata bang Napi: Waspadalah Waspadalah!
Segera setelah memarkir kendaraan kami langsung masuk ke SMMA. Ketika kami datang, sebagian pekerja tengah sibuk merenovasi pintu masuk SMMA, termasuk pemasangan papan nama SMMA yang baru. Kebetulan salah satu polisi hutan mengawasi jalannya pemasangan papan nama ini. Namanya Pak Edy.
"Pak kami ingin mengambil gambar di dalam SMMA" ijin Irena, temanku ke Pak Edy.
"Udah ada ijin" tanya Pak Edy.
"Belum Pak" ujar Rena.
"Kalau mau masuk SMMA harus ada ijin, apalagi liputan seperti ini" terang Pak Edy.
"Iya sih Pak, tapi kami hanya sebentar kok". "Gak lama Pak". "Lagian kami hanya menambah gambar yang kurang" bujuk Rena.
"Coba telpon ke kantor deh, ini nomernya" terang Pak Edy. "Bukannya apa, nanti takutnya ada apa-apa, saya yang tidak enak".
Akhirnya setelah lobbying yang ramah, kami pun diijinkan masuk ke SMMA dengan ditemani Pak Edy.
Begitu kami masuk, ternyata sudah banyak perubahan. Dulu jalan bambu yang menjadi jalan masuk ke dalam SMMA, diganti kayu. Beberapa bagian bangunan juga di renovasi. Suasananya masih sama. Asri. Pohon bakau masih tumbuh di kanan kiri. Beberapa monyet juga menyambut kami. Namun disisi sungai terlihat beberapa gubuk liar nelayan. Hal ini tentu merusak kesejukan SMMA. Sekedar informasi, gubuk liar ini pernah ditertibkan beberapa waktu yang lalu.
Setelah memilih view yang kami anggap tepat, PTC pun kami lakukan. Walau harus dilakukan beberapa kali, akhirnya selesai juga tugas ini. Sebelum bergegas, aku masih menyempatkan diri mengambil gambar monyet yang saling mencuri kutu sambil menggendong anaknya yang masih kecil.
Setelah pamit ke Pak Edy, kami pun bergegas ke mobil. Tapi alangkah terkejutnya kami ketika mendapati kaca belakang sebelah kiri hancur berserakan. Bekas congkelan dan hantaman batu masih tersisa.
"Ya Allah" pekik Rena. "Gila tas g diambil" ujarnya setelah melongok ke dalam mobil.
"Apa aja isinya Ren" tanyaku. "Semua ilang, dompet, hp, atm Mas" ujar Rena.
"Ya udah tenang dulu" ujarku menghibur. "Iya, wah sialan tuh orang" umpat Rena kesal.
Kejadian itu berlangsung sangat singkat. Padahal kami meninggalkan mobil tak lebih dari 20 menit.
"Ya udah kita mampir BCA dulu deh" pinta Rena. Namun sayang BCA yang ada di kompleks perkantoran itu tidak ada petugas.
"Lagi makan siang Mbak" ujar salah satu teller. "Hah makan siang?" tanyaku dalam hati. Padahal sekarang kan udah jam 3 sore. Sial.
Di perjalanan kami masih membahas bagaimana pencoleng itu beraksi.
"Masih untung Mas, kamera gak di ambil" hibur Rena.
"Iya sih, namanya juga musibah" timpalku.
Kejadian yang kami alami, tentu menjadi bahan pelajaran berharga bagi semua orang untuk terus waspada di tengah kejamnya kehidupan kota besar.
Memang benar kata bang Napi: Waspadalah Waspadalah!
No comments:
Post a Comment