Kemarin pagi aku janjian sama temanku, Ismu Nugroho, untuk cari kost Andri. Andri adalah kakaknya Denny, salah satu temanku di Semarang. Andri baru pertama kali ke Jakarta. Sebelumnya dia kerja di Batam & Pekan Baru.
Kami janjian di depan RS Satyanegara, Sunter. Tak lama setelah sampai, aku telpon Ismu.
"Mas aku udah di depan RS"ucapku diujung telpon.
"Wah sorry Wid, aku gak bisa nemenin. Istriku lagi ada insiden. Sekarang aku di Husada"jawabnya diujung sana.
"Aku kasih alamatnya aja ya"sambungnya lagi.
"Ok"sahutku.
"Tut tut"seketika telpon pun terputus.
Aku dan Andri pun meluncur ke alamat yang dimaksud. Setelah tanya sana sini, akhirnya kami mencapai rumah yang dimaksud. Hanya sayang, kostnya sudah penuh. Kamipun meluncur ke tempat lain. Ada satu kamar yang kosong. Tapi sepertinya Andri tidak cocok.
Kami masih berputar putar di sekitar Sunter. Aku berhenti sebentar menelpon Ragil. Ragil adalah adiknya Ismu. Mereka dulu sama-sama tinggal di Sunter. Maksud hati ingin tanya daerah kost-kostan.
"Halo Nduk kamu dimana"tanyaku.
"Di Husada Mas"sambungnya.
"Anaknya Mas Ismu meninggal Mas, kena air ketuban". "Udah ya Mas, aku mau ngurus jenazahnya" sambungnya cepat.
"Klik" Telpon pun dimatikan.
Ada perasaan yang tidak enak mendengarnya. Siapa sih yang enak mendengar kabar duka. Kami masih berputar-putar sendirian di sekitar Sunter. Terik matahari yang hebat membuat kami sepakat meluncur pulang. Andri aku antarkan sampai kostnya di Kenari setelah sebelumnya mampir ke kostku.
Kabar duka ini pun aku sampaikan ke teman-teman kosku yang juga teman-temannya Ismu dan Ragil.
Tiba-tiba flexiku bunyi.
"Halo Wid kamu dimana"tanya Pupun. Pupun adalah tetangganya Ismu & Ragil di Prambanan, Klaten.
"Aku di kost"jawabku.
"Eh Wid, kita ngelayat yuk, baca Paritta, anaknya Ismu meninggal". "Kamu udah tahu?" cerocos Pupun.
"Udah"jawabku singkat.
"Ok". "Jam satu ya ketemu di kost" sambungku.
Tak lama Pupun pun datang. Akhirnya aku, Pupun, dan dua teman kostpun, Agus & Isyanto, berangkat ke RS Husada.
Begitu sampai di rumah duka Husada, ternyata jenazahnya baru saja berangkat ke Cilincing untuk di kremasi. Setelah berembuk, akhirnya kami putuskan menengok istrinya Ismu, Wahyuni, yang masih di rawat di lantai 5 ruang 512. Disana masih banyak orang yang menengok. Kamipun menunggu diluar kamar. Akhirnya tiba pula giliran kami. Setelah salaman sebagai rasa duka cita, Wahyuni pun bercerita kronologis kejadiannya.
Walau telah kehilangan, tapi wajah tegar dan iklas terpancar jelas dari mukanya yang masih agak lemas. Terus terang, aku salut dengan apa yang dilakukan Wahyuni. Aku tak tahu apa yang akan aku lakukan jika hal ini aku alami. Aku masih ingat, waktu kelas 4 SD, ayahku meninggal. Aku pun tak berani melihat jenazahnya. Aku hanya diam membisu di rumah tetanggaku.
Tak lama kami datang, Ivana juga datang.
Aku dan Agus memutuskan menunggu Ismu & Ragil dari tempat kremasi. Sementara Isyanto, Pupun, dan Ivana sudah pulang duluan. Kami duduk di teras ruangan. Di depan teras ini digunakan lalu lalang banyak orang. Tak hanya keluarga pasien tapi juga hilir mudik para suster yang membawa boks-boks bayi yang baru saja lahir. Tempat duduk kami memang tak jauh dari ruang bersalin. Selama kurang lebih 1 jam kurang, tak kurang dari 7 bayi merah melintas di depan mata kami. Masih dibalut selimut, wajah & kepala yang mulus terlihat. Lucu banget!
"Gila, banyak banget ya Gus, bayi yang lahir"ujarku memecah keheningan kami.
"Iya". "Tapi juga banyak kematian" sambung Agus serius.
Bener juga kata Agus. Kehidupan dan kematian memang dua keping mata uang yang tak bisa dipisahkan. Salah satu buku yang pernah aku baca malah bilang: Disitu ada kehidupan, maka disitu pula ada kematian. Buddha malah menegaskan: Kehidupan adalah awal kematian!
No comments:
Post a Comment