26 Desember tiga tahun lalu, bencana dasyat tsunami meluluhlantakkan bumi Nanggroe Aceh Darussalam. Ratusan ribu korban meninggal. Aku sendiri baru menginjakkan kaki seminggu kemudian di bumi serambi mekah itu. Kondisi kehancuran terasa sekali. Hilir mudik petugas PMI dan TNI membantu korban yang akan dievakuasi keluar Aceh. Ratapan kesedihan menyeruak mereka yang kehilangan sanak saudaranya.
Kini, 3 tahun berselang. Walau tak sering, aku beberapa kali melihat sendiri proses rekonstruksi dan rehabilitasi yang dikomandoi BRR. Dibawah kepemimpinan Pak Koen, ada banyak kemajuan. Rumah-rumah dibeberapa titik sudah berdiri lengkap dengan fasilitasnya. Semuanya atas bantuan dari berbagai pihak, terutama NGO dari luar negeri.
Namun disisi lain, ternyata sampai hari ini masih banyak pula warga yang tinggal di barak-barak pengungsian. Penanganan paska tsumani memang tidak mudah. Terutama persoalan rumah. Akses tanah adalah salah satu kendalanya. Disatu sisi, banyak NGO yang memiliki aturan: akan membantu pembangunan rumah, jika korban tsumani ybs memiliki tanah. Sementara tak banyak pengungsi yang memiliki tanah. Sebab selain sudah sebagian hilang diterjang tsunami, banyak pula diantara mereka tidak memiliki tanah karena sebagai pendatang di Banda Aceh. Layaknya Jakarta, Banda Aceh juga menyedot semut-semut urbanisasi di Aceh.
Pergantian tampuk kepemimpinan Aceh turut mempengaruhi laju kerja proses rekonstruksi dan rehabilitasi ini. Beberapa orang gubernur memang menempati pos-pos di BRR. Secara politis pun gubernur menjadi wakil BRR. Tentu tarik menarik kepentingan pasti terjadi disini.
Ada teman yang cerita bahwa sekarang ini, banyak NGO yang sudah angkat kaki. Padahal mereka memiliki dana melimpah. Hanya saja karena proses birokrasi yang berbelit, NGO ini pun pergi entah kemana. NGO-NGO ini sebenarnya memiliki niat yang sangat mulia, ingin membantu saudara-saudara kita. Tapi ternyata kok malah dipersulit. "Mau berbuat baik ternyata gak gampang" seloroh temanku.
Setahun lalu, ketika peringatan dua tahun tsunami, ada kata-kata menarik: Remember & Re-built. Maksudnya bahwa kejadian tsunami harus tetap di kenang dan juga harus membangun kembali puing-puing kehidupan yang sudah runtuh. Peringatan kala itu sangat meriah. Namun peringatan tinggal peringatan. Peringatan bulan desember kemarin tak seramai lagi. Pemerintah justru mengadakan latihan penanggulangan tsunami di Banten. Entah apa alasannya.......
Tiga tahun sudah berlalu. Peringatan itu pun kini hanya menyisakan kebisuan belaka. Kebisuan yang entah sampai kapan akan kembali bersuara. Kebisuan peringatan menjalar pula pada kebisuan nasib sebagian besar warga yang hingga kini masih belum memiliki tempat tinggal.
Selamat memperingati tsunami yang penuh kebisuan.
No comments:
Post a Comment