Monday, April 28, 2008

Atas Nama Kompromi

Selama ini aku dan semua penghuni kost mengenalnya sebagai seorang wartawan yang idealis karena memang bekerja di media yang sangat idealis. Tepatnya radio. Sebut saja namanya H. Dia sebenarnya sudah mapan dengan posisinya kala itu. Posisi penting sudah ditangan. Jabatan, anak buah, tentu berbanding lurus dengan materi. Belum lagi soal jam terbang dan pengalaman. Sudah pasti, sehingga sangat tidak layak lagi untuk di bahas disini. Beberapa kali diskusi dengannya sangat menarik. Berbagai argumentasi diberikan. Dan memang rasanya masuk akal. Semua terasa nikmat. Walau terkadang terasa narsis dan egois, tapi memang demikianlah adanya dia. Kami memakluminya. Karena urusan keluarga, doi akhirnya pindah. Walau pindah, terkadang doi mampir ke kost. Sekedar say hello dengan penghuni baru atau sekedar nostalgia, entahlah.
Tiba-tiba sore itu, dia datang setelah sekian lama. Dengan cara yang sama, sedotan filter yang tak tak pernah lepas dari mulutnya. Sesekali dikebulkan asap keluar. Terkadang batuk mengiringi. Di teras depan dia bicara bahwa sekarang dia harus beranjak tugas. Intinya pindah kantor. "Pindah kemana sih bos?" tanyaku. "TVOne" ujarnya bingung. "Lha bukannya enak tuh bos". "Gaji pasti gede tuh". "Apalagi kan masih baru begitu". cerocosku. "Masalahnya bukan cuma itu". Ini soal idealisme sih. Apalagi ini kan masih berbau Bakrie. Tau sendiri kan gimana orang-orang Lapindo menderita karena Bakrie. Sementara selama ini, kita begitu dasyat mem-blow up kasus Lapindo ini. Wah repotlah pokoknya. Belum lagi kantor lama juga berat untuk ditinggal. Apa kata dunia. Begitu kira-kira. Oh itu toh yang bikin dia pening sore itu. Tapi memang mereka menawarkan sesuatu yang "konkret" bos.
Lain lagi cerita seorang teman. Dia sehari-hari bekerja di balik salah satu program infotainment terkenal. Bahkan mengklaim bahwa program ini adalah program infotainment pertama di Indonesia. Entahlah. Dia cerita bahwa lama-lama, kerja di infotainment itu kok rasanya seperti cuci otak ya. Ya rasanya kok tak sesuai nurani saja. Begitu keluhnya suatu siang di kawasan Tebet. Kita seolah dicekoki hal-hal yang kadang diluar rasionalitas kita. Hedon & konsumerisme, itu sudah pasti. "Tapi jujur aja, kita juga butuh uang dari situ". "Jadi ya sekedar numpang hidup kali ya" selorohnya.
Yup. Idealisme memang susah-susah gampang. Ditengah hiruk pikuk dunia seperti sekarang ini, sebuah idealisme memang tak mudah diejawantahkan. Solusinya mungkin adalah kompromi. Ya, kompromi. Kompromi kan bukan berarti kita menjadi kalah dengan keadaan kan? Kompromi maksudnya, jika selama ini kita berharap jalan yang kita tempuh menghasilkan angka 10, artinya kita harus menurunkan angka tersebut menjadi 7 atau 6 mungkin dengan jalan yang sama. Sama halnya dengan pernikahan. Walau aku belum menikah hingga kini, tapi aku yakin bahwa sebenarnya pernikahan itu adalah bagian dari kompromi. Kompromi untuk menyatukan dua pikiran yang berbeda. Jangankan soal pernikahan, ketika tahap pacaran pun kita gak lepas dari kompromi-kompromi. So, bukankah hidup memang bagian dari kompromi dan kompromi. Seorang teman pernah mengatakan bahwa jika kita sedang dirudung masalah, solusinya sebenarnya cuma satu, kompromi saja dengan masalah itu. Nah lho!!!

No comments: