Hari itu aku dalam sebuah perjalanan menuju Ungaran, Jawa Tengah. Begitu naik, ternyata masih banyak bangku yang kosong. “Asyik” batinku. Aku dengan bebas memilih bangku agak belakang, favoritku. Segera saja kudaratkan badan yang terasa pegal setelah semalaman terguncang di dalam ular besi dari Jakarta. Walau lelah, tapi aku paksakan melihat sekeliling kota Semarang yang beberapa waktu silam pernah aku tinggali. “Bandung bandung” teriak kenek bus. Yang dimaksud Bandung bukannya kota Bandung di Jawa Barat, tapi Bandungan, sebuah daerah sejuk di lereng Menoreh. Tak banyak yang berubah. Kota tua masih seperti dulu. Tapi agak tertata sekarang. Beberapa bangunan mengalami renovasi. Yang paling mencolok atribut kampanye pemilihan gubernur Jawa Tengah bertebaran dimana-mana. Calonnya lumayan banyak. Ada wali kota Semarang, ada mantan Pangdam, ada mantan dosen bahasa Jepangku juga. Wah bakal semarak sepertinya. Bus masih melaju pelan sambil terus mencari penumpang. Menginjak Jl. Dr Cipto, tepatnya di perempatan kampung kali, seorang nenek tua naik dan duduk di sebelahku. Awalnya aku diam saja. Hanya anggukan yang aku berikan ketika si nenek permisi mengambil duduk di sebelahku. Warna putih menghampiri hampir semua rambutnya. Beberapa helai masih tampak hitam, tapi itu sudah jauh berkurang. Wajah tuanya tak bisa disembunyikan. Kerut kulit terlihat jelas di sana-sini. Dari wajah hingga kaki. Pertanda si empunya memang sudah berusia lanjut. Matanya sudah cekung masuk ke dalam. Dengan baju motif cerah dipadu terusan batik, tak lupa selendang kesayangan tak henti melekat di leher. Selendang ini pula yang dijadikan tempat penyimpanan harta. Usianya aku perkirakan 70-an tahun. Mungkin lebih. Sebab hampir sama dengan Ibuku di rumah.
Akhirnya aku beranikan diri ngobrol dengannya. Turun mana, dari mana adalah pertanyaan standar yang aku sodorkan. Dengan ramah, dia jawab semua pertanyaanku.
“Bade wonten pundi Mbah” tanyaku.
“Mantuk Mas. Wonten Sumowono” tungkasnya.
“Oh Sumowono, wah tebih ngeh Mbah” lanjutku.
“Nggih, tebih Mas” jawabnya.
“Ben dinten nggih kados niki”. “Sadean kembang Mas”.
“Gadahan piyambak Mbak” tanyaku lagi.
“Mboten Mas, mendet saking tiyang” pungkasnya.
Belum sempat aku tanya namanya. Naik seorang ibu. Usianya agak lebih muda. Begitu naik, mereka terlibat obrolan. Setelah itu, naik lagi seorang ibu paruh baya. Sama. Mereka saling akrab. Dari obrolan itu bisa aku pastikan bahwa mereka bertetangga. Dari obrolan itu pula, aku tahu kalau nama nenek yang duduk di sebelahku itu adalah Siti. Ya Mbah Siti. Walau terlihat sepuh, tapi jangan ditanya soal energi. Hampir tiap hari, Mbah Siti membawa bunga-bunga bukit Menoreh untuk dijajakan di Semarang dan sekitarnya. Subuh biasanya ia berangkat, jauh sebelum magrib sudah berada di bus menuju pulang ke rumah lagi. Demikian kesehariannya. Tak tampak rasa lelah apalagi kecewa di wajahnya. Itu yang aku kagum.
Bus makin melaju. Seketika, penuh sesak penumpang terjadi. Mbah Siti sudah tidak bisa lagi berbincang dengan tetangganya. Dan lelap akhirnya yang dipilih. Aku pun rasanya terpengaruh lelap Mbah Siti. Tapi mata ini tak mau terpejam. Aku biarkan kepala Mbah Siti sesekali mampir di pundakku. “Tak apalah” pikirku. “Kasihan Mbah Siti”. Tak selang lama, aku pun siap-siap turun. Sementara Mbah Siti masih jauh dari tujuan. Setelah minta diri, aku pun siap-siap menjejakkan kaki ke jalan aspal besar. Dengan susah payah aku berhasil keluar dari sesakan penumpang. Bus sudah jauh melaju. Pikiranku ternyata juga ikut melaju….. Selang berjalan beberapa meter, perut rasanya minta diisi. Segera aku hampiri, tukang nasi kucing. “Es teh mas” pesanku sembari mencomot nasi tempe kering. Sambil melahap potongan mendoan, aku masih terpikir dengan sosok Mbah Siti. Usia sepuh tak menghalanginya beraktivitas. Semangatnya itu lho. Aku yang jauh lebih muda merasa kalah. Tiap kali diberi beban pekerjaan sedikit aja selalu ada kata keluhan. Ini kurang, itu kurang, dsb. Mbah Siti mengajarkanku apa itu semangat. Ya semangat. Semangat itulah yang belakangan aku merasa kehilangan. Semoga kembang Mbah Siti terus mekar di benak semangatku. Ya semoga.
No comments:
Post a Comment