Siang itu udara di pesisir Jakarta lumayan menyengat. Sembari menunggu si empunya, saya masuk ke sebuah aula bambu yang lumayan besar. Di dinding tertempel beberpa foto kegiatan penanaman bakau. Tak hanya anak-anak sekolah, tapi juga anggota militer. Siang itu, saya berbincang dengan Ibu Murni. Seorang Ibu rumah tangga yang menghabiskan waktunya untuk mengurusi bakau. Perawakannya agak gemuk, namun langkahnya masih tegap. Ya, Ibu Murni menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mengurusi bakau di Taman Wisata Alam (TWA) Kapuk, Muara Angke. Akrab. Itu obrolan kami siang jelang sore itu. Ibu Murni cerita panjang lebar tentang perjuangannya mempertahankan hutan kota ini. Obrolan juga mengarah ke berbagai arah. Mulai dari Lia Eden, (yang Ibu Murni sebut sebagai Lia Edan - itu kata cucu saya, katanya), soal pungutan Dephut hingga pemilu 2009. Khusus Lia Eden, kebetulan Ibu Murni kenal baik. Sempat mengikuti "jalan" Lia Eden, namun berbalik arah di tengah jalan. "Sebetulnya Lia itu orangnya baik sekali, hanya saja jalan yang ditempuh menjadi tidak baik". Lia itu dulunya pengusaha bunga.
Khusus mengenai kegigihannya mempertahankan hutan bakau seluas hampir 1000 ha ini, tak lain karena panggilan hati. "Masak setiap jengkal tanah di Jakarta tak ada tumbuhannya". "Apalagi hutan?" Hampir tak ada kan. Karena adanya bakau, ya akhirnya saya memilih melestarikan bakau. "Disini kami melakukan pembibitan, juga membantu penanaman". "Selain itu juga perawatan". "Banyak kan yang selesai tanam gak tumbuh-tumbuh karena gak di rawat" kelakarnya. "Liat aja tuh penanaman bakau di Marunda"kritiknya. "Semangat menanamnya sih boleh, tapi kan tak cukup sampai disitu". "Kalau disini, begitu selesai tanam, anak-anak saya minta turun untuk mengecek, bener tidaknya cara menanam orang-orang itu"terangnya.
Obrolan kami terpenggal. Sesaat kemudian, saya diantar salah seorang pegawai Ibu Murni untuk melihat secara langsung proses pembibitan dan juga persiapan penanaman bakau. Memang terbukti apa yang disampaikan Ibu Murni. Bakau disini tumbuh lebat. Karena tidak hanya dijaga, namun juga lokasi dan jarak penanaman diperhitungkan dengan matang. Saya melihat beberapa orang sedang mempersiapkan pot-pot dari bambu untuk penanaman. Pot-pot ini sedianya akan ditanami organisasi gereja beberapa hari kemudian.
Rimbun, itulah kesan yang saya dapat. Sementara selama ini, ketika kita berlibur di Jakarta hanya selalu disodori mal dan mal, TWA ini bisa menjadi pilihan. Wisata alam di Jakarta. Kapan lagi?
Setelah melihat sekeliling, saya kembali ke ruang bambu itu. Ibu Murni masih disana. Sambil minum teh, Ibu Murni kembali bercerita. "Saya tuh heran sama dephut". "Lha wong kita ini mau ngurusi bakau kok malah mereka minta duit". "Harusnya kan justru mereka yang kasih duit ke kita karena kita mau ngurusi hutan bakau ini". "Iya gak". Karena urusan duit ini, sebenarnya saya malu. Dephut maunya di TWA ini ada retribusi karcis masuk, dll. Ya intinya harus menghasilkan. Mereka beranggapan bahwa TWA itu tempat wisata, jadi harus ada kontribusi ke dephut. "Saya sudah diultimatum 3x". "Akhirnya saya menyerah deh, walau itu bertentangan dengan hati nurani saya". "Daripada fungsi hutan bakau ini akan diselewengkan". "Siapa yang bisa menjamin, hutan ini akan tetap seperti ini kalau di pegang orang dephut". "Jangan salah mas, yang incer tempat ini tuh banyak". "Kemarin malah ada yang nawari mau bikin mal". "Gila apa?". "Pemda malah sempat mengusulkan akan dijadikan TPA pengganti Bantar Gebang". "Apa kurang sintingnya tuh ide pemda". "Belum lama ini orangnya Ciputra juga datang". "Mereka bilang: Ibu Murni mau butuh berapa M". "Kalau saya gelap mata, mungkin sudah saya ambil saja tuh uang mereka". "Jaman sekarang siapa yang tidak butuh uang". "Nah karena itulah saya mati-matian perjuangkan hutan bakau ini". "Sebab kalau sampai jatuh ke tangan yang salah, bisa-bisa hutan bakau Jakarta hanya tinggal kenangan" imbuhnya. Jangan-jangan disini nantinya akan menjadi "BAKAU MAL". Ha............
No comments:
Post a Comment