Selama ini aku merasa bahwa menulis itu adalah pekerjaan yang mudah & gampang. Mengapa? Bukankah dari sejak TK kita sudah diajari ibu guru? Lantas waktu SD kita selalu di ajak menulis di papan hitam: ini Budi, ini bapak Budi, ini ibu Budi? Kita juga diajari nulis yang rapi, dst, dst.
Dan seperti itulah adanya jika melihat teman-teman di kantor. Mereka sepertinya tak menemui banyak kesulitan dalam membuat skrip atau naskah lainnya. Toh selama ini rasanya lancar-lancar saja (Mungkin aku tak tahu kesulitan mereka secara dalam) karena memang aku hanya mengamati dari luar saja. Memang kadang kala aku dengar si bos membenarkan atau merapikan skrip yang telah ditulis biar sesuai dengan tema atau angle yang diangkat. Kebetulan aku jarang berhubungan dengan teknis menulis secara langsung.
Walau sepintas mudah, menulis ternyata tidak mudah. Banyak hal yang perlu diperhatikan. Salah satunya, tujuan kita menulis. Walau banyak orang bilang, kalau mau nulis ya nulis aja, tapi ternyata kita harus tetap memperhatikan untuk apa tulisan itu kita buat. Minimal kita menyiapkan pikiran kita sebelum menulis. Itu yang disampaikan bosku di kantor dalam training: clear business writing. Think, then we can write. Begitu ujarnya. Beliau juga menegaskan, apapun pekerjaan kita, entah level manajemen, entah level teknis sekali pun, diperlukan adanya skill writing ini. Sebab ini adalah penilaian dasar manajemen terhadap karyawan. Di Indonesia kita masih lebih senang memakai budaya lisan. Alias cuap-cuap saja. Padahal komunikasi tertulis jauh lebih penting. Setidaknya bisa sebagai reminder, sebab kemampuan otak manusia ada batasnya. Menulis internal memo saja, itu ternyata juga tidak mudah. Padahal sering kali aku baca, intenal memo ya intinya begitu begitu saja. Padahal di balik itu semua ternyata rumit juga. Bagaimana kita menyampaikan "kekesalan" kita melalui internal memo, apalagi itu. Kalau dalam dunia tulis menulis (sastra), kita diajarkan untuk menulis dengan kaidah lead, body, & conclusion. Tapi dalam dunia kerja, khususnya menulis memo, itu semua menjadi tak terpakai. Hal-hal penting sajalah yang ditulis. Tidak usah bertele-tele. Langsung saja to the point. Intinya saja yang disampaikan.
Apapun memang butuh latihan supaya mahir. Demikian pula dengan menulis. Bahkan salah satu penelitian mengatakan, ternyata dunia tulis menulis, termasuk pekerjaan wartawan/jurnalis tidak dikuasai oleh mereka yang kulih di jurusan komunikasi, tetapi oleh jurusan-jurusan lain. Bahkah jurusan komunikasi tidak sampai 10 %. Ini artinya bahwa persoalan menulis bukan monopoli sebuah jurusan komunikasi saja.
Layaknya seorang atlet terbaik, dia hanya akan jago dan menang setiap kali pertandingan hanya karena latihan dan latihan. Seorang Beckam yang terkenal tendangan pisangnya, ternyata selalu latihan ekstra. Demikian pula penerusnya di MU, Cristiano Ronaldo. Tendangan Beckam dan Ronaldo memilik ciri sendiri. Dan itu adalah buah dari latihan keras. Orang sekarang melihat bagaimana spektakulernya tendangan mereka. Padahal jauh hari mereka sudah melatihnya dengan keras. Dan itu tidak dilihat orang. Demikian pula dengan menulis. Ada yang begitu cepat bisa menumpahkan isi kepalanya dalam tulisan dalam waktu singkat, ada pula yang harus menunggu jatuhnya ilham dari langit. Itu semua adalah buah dari latihan setiap hari. Jadi good writing ya good rewriting. Iya gak sih?
No comments:
Post a Comment