Tuesday, December 27, 2016

Organik: Bisnis Kepercayaan

Belakangan mulai banyak yang peduli akan makanan yang sehat. Imbasnya permintaan pasokannya juga meningkat. Bahan makan yang segar/fresh banyak digemari. Selain itu, bahan makan organik juga banyak diburu masyakarat. Mulai dari sayur hingga beras. 
sumber: organikilo.co


Meski dari sisi harga pangan organik lebih mahal, tapi demi kesehatan harga menjadi nomor sekian. Secara kasat mata, pangan organik, terutama sayur, tidak berbeda jauh dengan pangan non organik. Justru tampilan fisiknya malah seringkali tidak sedap di pandang. 

Isu organik memang menarik ditelisik. Ada yang mengatakan asal ada sertifikat organik dijamin produknya pasti organik. Tapi ada juga yang bilang asal tidak pakai pupuk kimia, sudah masuk kategori organik. Lha tapi gimana kalau cara tanamnya organik, tapi sekelilingnya masih menggunakan pupuk kimia? Bukankah itu bisa mencemari juga? 

Untuk menjawab perdebatan ini, maka hadirlah lembaga sertifikasi organik. Di Indonesia mulai banyak, seperti Biocer yang digagas AOI (Aliansi Organik Indonesia), Sucofindo, Inofice, Lesos, dll. Kalau yang internasional ada IFOAM. Juga yang lainnya. Untuk mendapatkan sertifikat organik beragam tarif dan mekanismenya. Dan banyak pegiat organik, terutama petani kecil yang belum sanggup melakukannya. Alasan utamanya adalah fulus. 

Saya pernah ketemu Pak Widodo, petani beras organik di Magelang, Jawa Tengah. Saya diajak melihat langsung sawah organiknya. Dia menanam Mentik Susu, Beras Merah, dan Beras Hitam. Sawah organiknya bersebelahan persis dengan sawah lain yang menanam dengan sistem non organik. Artinya mereka sama-sama menggunakan sumber air yang sama. Sedikit banyak pasti air yang sudah tercemar pupuk kimia mengalir ke sawah Pak Widodo. Tapi Pak Widodo terkekeh ketika saya tanya soal hal ini. "Gimana mungkin bisa mas kita lepas dari pupuk kimia". "Kalau memang mau organik 100 % kita mesti bertani di atas gunung"ujarnya. Pak Widodo juga tidak memusingkan dengan label organik. Selain mahal, baginya yang penting adalah kepercayaan konsumen. "Saya mungkin satu-satunya petani disini yang menerapkan pertanian begini Mas" tambahnya sambil menyiangi rumput. "Saya tidak takut, karena saya sudah menemukan pasar untuk beras saya". "Setiap panen, selalu habis, bahkan saya kewalahan menerima permintaan konsumen". "Saya apa adanya dengan konsumen saya, tidak ada yang saya tutup-tutupi, toh mereka bisa lihat sendiri bagaimana proses saya bertani" tegasnya. 

Pak Widodo juga membuat lumbung sederhana dirumahnya yang asri. Gabah organik biasa disimpan di sini setelah kering. Gabah baru diselep setelah ada permintaan. "Tapi biasanya gak pernah lama Mas, karena konsumen selalu datang mencari" ujarnya. Pada akhirnya saya menyimpulkan bahwa memang bisnis organik itu adalah  bisnis kepercayaan. 

Tabik.

No comments: