Tuesday, December 27, 2016

Catatan Tsunami

Desember hari itu seperti desember yang lain. Banyak yang sudah membuat rencana untuk merayakan natal juga tahun baru. 

Tapi desember hari itu, kelam. Sendu. Tepat sehari setelah natal ombak besar menghantam Aceh dan sekitarnya. Pagi hari ditengah sebagian besar orang masih terlelap, ombak hitam itu datang. Ada yang bilang, kalau ombak ini setinggi pohon kelapa. Tsunami. Kata ini segera menghiasi semua media kita. Hari itu adalah hari paling berduka bagi kita semua. Banyak saudara kita yang meninggal. Terseret ombak hitam tsunami. 

Hari itu juga kita diminta bersiap diri jika sewaktu-waktu dikirim ke Aceh. Tentu banyak orang yang ingin masuk Aceh. Dengan satu kata demi panggilan kemanusiaan. Tim pertama sudah dikirim, artinya tinggal menunggu saja giliranku. Akhirnya setelah segala urusan dibereskan, tanggal 31 kami mencapai Medan, sebelum tepat tanggal 1 Januari, kami tiba di Banda Aceh. Saya masih ingat betul, bagaimana senyapnya kota medan di malam pergantian tahun. Tak ada lalu lalang terompet. Kota seperti mati. Dari atas jendela kamar hotel, lampu jalan pun samar-samar menyala. Mungkin ikut berduka pula.

Pagi dini hari, sekitar jam 3 kami berlarian menuju pesawat carteran menuju Aceh sambil membawa logistik secukupnya. Tiba di bandara Banda Aceh, kami disambut raungan tangis yang tak berkesudahan. Bandara penuh sesak orang-orang yang sakit. Yang mencari saudara yang hilang. Juga penuh sesak oleh mereka yang ingin segera meninggalkan Banda Aceh. Terlihat beberapa pesawat masih berdiam. Hercules juga masih terdiam menanti muatan.

Mencari kawan yang sudah tiba duluan juga bukan perkara mudah. Kondisi bandara yang semrawut, tenda dimana-mana, belum lagi akses telpon yang belum bersahabat menjadi kendala. Tapi akhirnya bertemu juga. Kawan terlihat berpeluh. Terpampang jelas wajah-wajah yang lama tak berbasuh air bersih. Tapi demi tugas mulia semua diabaikan. 

Kami berteduh didalam tenda yang sudah disiapkan tim relawan pendahulu. Tim di bagi 2: pelayanan kesehatan dan pembagian logistik. Tiap hari kami mengikuti mereka. Akses jalan masih terbatas, demikian pula penerangan. Terlihat tim dari negara lain yang akomodasi dan perbekalannya yang baik. 

Satu yang paling berkesan ketika kami mengunjungi pos pengungsi di Jantho. Banyak anak kecil yang menangis karena tidak ada susu. Selain juga masih banyak orang-orang yang patah kaki karena menyelamatkan diri. Tentu tak terhitung berapa dari mereka yang trauma ombak hitam tsunami. 

Belum lagi jadwal makan kami yang tak menentu. Kami pernah juga memakan kelapa untuk mengganjal perut di siang hari, karena memang kami mengirimkan logistik ke daerah yang sulit terjangkau. Sebuah pengalaman yang sangat berharga. 

Kondisi Banda Aceh dan sekitarnya hari itu belum juga membaik. Bau anyit mayat masih ada disana-sini. Belum lagi hilir mudik informasi tentang kontak senjata GAM dan TNI yang benar-benar simpang siur, menjadi tantangan tersendiri. 

Hampir 1 bulan akhirnya kami harus pulang. Bukannya tidak mau berlama lagi mengabadikan beragam aktivitas kerelawanan di tanah Naggroe. Tapi memang tugas kami untuk sementara harus diakhiri. "Tenang, save energi kalian untuk perjalanan selanjutnya" demikian kabar dari kantor yang kami terima. Sebuah perjalanan yang sangat berharga ditengah banyak orang yang ingin membantu ke Aceh, namun belum bisa menuntaskan niat mulianya. 

Sejak itu, tak terhitung lagi kami bolak-balik ke Aceh. Setelah hanya sekitar 1 minggu di Jakarta, akhirnya kami ditugaskan kembali. Kali ini ke Aceh lagi, tapi ke bagian lain, yaitu Meulaboh, di Aceh Barat. Daerah ini termasuk wilayan Aceh yang tingkat kerusakannya terparah. Hampir semua sektor kehidupan lumpuh total. Maklum pusat kota tak jauh dari bibir pantai. 

Dengan dibantu dan dipandu relawan dari Sinar Mas, kami berangkat dari Medan. Sejak siang hingga menjelang sore hari kami terus bersiap diri. 11 truk sudah siap dengan muatan logistik. Belum lagi beberapa mobil pribadi. Sekitar jam 8 malam kami semua bergerak, beriringan. Konvoi. Biar tidak ada yang tercecer. Di perjalanan ini yang terkesan adalah perjalanan di Tapak Tuan. Bagian pesisir Aceh ini juga terlihat bekas bencana tsunami. Meski tidak terlalu parah. Sepanjang mata memandang, lautan pantai menghampar. Kami berhenti sejenak untuk mengisi perut dan menikmati pemandangan. Tapi tidak bisa berlama-lama. Sebab tujuan akhir masih jauh. 

Hampir 2 hari 2 malam, kami akhirnya tiba di Meulaboh. Kota ini mati total. Listrik belum banyak tersedia. Bala bantuan lembaga kemanusiaan juga belum banyak. Kami mencari staf mensos yang sedari awal menjanjikan tempat sebagai posko. Tapi ternyata janji ini tinggal janji. Pada akhirnya kami harus mencari sendiri posko yang ingin kami tempati untuk beberapa waktu ke depan. Beruntung salah satu relawan dari Sinar Mas memiliki famili. Meski ada korban jiwa, namun rumahnya masih dalam kondisi baik karena agak jauh dari bibir pantai. Kami mendirikan tenda tepat di samping rumahnya. Besokannya kami membersihkan tanah kosong dari semak-semak untuk menampung semua aktivitas kami. Dari titik inilah semua bantuan didistribusikan ke berbagai penjuru Meulaboh dan sekitarnya. 

Kami juga berkesempatan mendistribusikan bantuan ke Teunom. Wilayahnya  yang agak terpencil menyebabkan banyak bantuan belum mengalir ke daerah ini. Sebagain besar wilayahnya memang berada di bibir pantai. Tak heran kerusakannya juga sangat besar. Bantuan kami diangkut helikopter Perancis. Sepanjang perjalanan kerusakan masih terserak. Kami akhirnya sampai di Teunom, setelah hampir 1 jam terguncang di udara. Dibantu warga bantuan kami segera turunkan. Setelah survei dan koordinasi sana-sini, diputuskan bantuan baru didistribusikan keesokan harinya. Bantuan pakaian, makanan, dll segera ludes terdistribusi. Saatnya kami pamit kembali ke Meulaboh. Kali ini perjalanan saya ke Teunom hanya dengan Sx Endang, relawan Tzu Chi Medan. Kami saling berpandangan kebingungan ketika akan kembali ke Meulaboh. Jika waktu datang kami naik helikopter, saatnya pulang harus naik apa? Salah satu warga menawarkan ojek motor. Perjalanan akhirnya dimulai. Mula-mula jalannya masih ok, tapi lama-lama sangat mendebarkan. Beberapa kami harus turun dari motor karena jalan yang berlumpur. Kami membelah hutan rawa yang banyak membelah. Tak heran banyak babi hutan melintas di dekat kami. Hampir setengah hari kami habiskan. Pantat sudah tidak karuan rasanya. Tapi pengalaman ini sangat berkesan. 

Hari-hari selanjutnya diisi dengan menyalurkan bantuan kemanusiaan, baik medis maupun pangan. Hampir 1,5 bulan kami di Meulaboh. Dan setelah itu bokal-balik  beberapa kali ke Aceh lagi. Bencana dasyat ini sudah menggerakkan jutaan ribu tangan-tangan kemanusiaan untuk berbagi meringankan beban saudara kita yang tertimpa  bencana tsunami. Dalam sebuah wawancara Pak Kuntoro sebagai ketua BRR Aceh Nias mengatakan bahwa kunci rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh begitu cepat karena adanya kepercayaan dari masyarakat dan dunia internasional terhadap kinerja BRR. Pak Kun, begitu biasa disapa melanjutkan, "bencana tsunami itu ibarat kita diminta untuk menghabiskan kue yang besar sekali dalam waktu yang singkat". "Kita tidak perlu berdebat dari mana kita menghabiskan kue itu, yang perlu kita segera lakukan adalah memakannya saja". "Kalau memang perlu dirasa kita geser posisi makan, ya tinggal geser saja" tegasnya. "Semoga gak ada bencana lagi" harapnya mengakhiri perbincangan pagi itu. 

Tabik. 


No comments: