Thursday, August 28, 2008

Qaryah Thayyibah: Sekolah yang Memerdekakan

Terjepit diantara belantara rumah desa. Sekilas tak berbeda dengan rumah yang lain. Yang membedakan bangunan ini agak lebih tinggi dibanding dengan tetangganya. Disinilah letak sekolah alternatif Qaryah Thayyibah. Tepatnya di desa Kalibening, Salatiga, sekolah ini terkenal dengan sebutan QT. Bahruddin,warga setempat adalah penggagasnya. Ia prihatin dengan kondisi pendidikan yang bobrok dan makin mahal harganya. Rumahnya disulap menjadi tempat bermain sekaligus belajar bagi anak-anak. ak ada yang dibatasi dalam sekolah ini. Jaringan internet juga bisa diakses sewaktu-waktu dengan harga yang sangat murah. Cuma 1000 per jam. Kenapa harus dihargai bukan digratiskan? "Semata-mata sebagai bentuk pertanggungjawaban saja" katanya.

Bahruddin menambahkan, di QT model pembelajarannya adalah murid sebagai subyek pembelajaran, bukan sebagai obyek. Sebab muridlah yang paling tahu apa yang harus dipelajari dan tidak. Walau di pedesaan, sekolah ini juga mengadakan english morning setiap paginya. Maka murid disini mahis cas cis cus dalam bahasa Inggris. Menurut Bahruddin, walau format sekolah ini adalah sejenis sekolah terbuka, akan tetapi ia mengubah kecenderungan sekolah terbuka sekadar sebagai lembaga untuk membagi-bagi ijazah dengan mengelola pendidikannya secara serius. Bahruddin menambahkan, sekolah ini tidak mengeluarkan surat tamat belajar, sebab baginya belajar adalah sepanjang hayat manusia. Jika manusia tamat belajar itu sama saja dengan mati!

Walau sekilas tampak tak tertata, namun murid-murid disini sangat menikmati sekolahnya. Bersekolah merupakan sesuatu yang menyenangkan. Guru bukan sebagai otoritas penguasa di kelas, melainkan sebagai teman belajar. Mereka bebas merdeka berbicara dengan guru dalam bahasa Jawa ngoko, stratata bahasa yang hanya pantas dipergunakan bagi kawan yang seusia.

Di sekolah ini tak ada papan nama. Apalagi pagar pembatas. Sebab pagar hanya akan memagari kreativitas anak-anak saja. Murid disini disebut sebagai warga belajar. QT menyebutnya sebagai komunitas pembelajar. Maia misalnya. Ia sudah jatuh mati dengan sekolah ini. Baginya sekolah ini benar-benar membebaskan warga belajar untuk memilih materi pembelajaran. Sementara kalau di sekolah formal semua serba diatur, dimana belum tentu sesuai dengan kesukaan murid didik. Hal yang sama diakui Giaz. Ketika ditanya mengapa memilih bersekolah di QT, kecewa dengan sekolah formal adalah jawabannya. Baginya sekolah di QT memerdekakan dirinya untuk belajar mengatur diri sendiri. Mengatur kapan harus belajar, kapan harus bermain, dll. Ia dkk bahkan belajar membuat susu kacang sekaligus belajar menjualnya sendiri kepada warga sekitar untuk bertahan hidup. Selain itu, Giaz juga rajin mengumpulkan bahan bekas untuk dijahit menjadi berbagai barang yang layak pakai kembali, seperti tas, dompet, dll. "Mana ada sekolah yang begini" tegasnya.

Lingkungan dan rumah warga yang tersebar disekitar rumah Bahruddin adalah tempat mereka belajar. Maka ketika bertandang kesana, jangan bayangkan akan banyak kelas-kelas. Sebab yang ada adalah bangunan rumah-rumah saja. Bangunan kelas hanya ada dua kelas, itupun digunakan sebagai kelas perantara, supaya mereka yang tadinya belajar di sekolah formal tidak kaget. Setelah itu, warga belajarnya dibebaskan untuk memilih forum sesuai minat dan bakatnya. Forum adalah istilah bagi mereka yang berkelompok sesuai dengan minat dan bakat. Ada forum fotografi, film, teater, musik, berternak kelinci, daur ulang, dll. Maka tak heran sekolah ini maju dalam berkesenian. Di bawah bimbingan guru musik, Soedjono, anak-anak sekolah ini bergabung dalam grup musik Suara Lintang. Grup musik anak-anak ini juga telah diperbanyak dalam bentuk kaset, video CD album Tembang Dolanan Tempo Doeloe yang diproduksi sekaligus sebagai upaya penggalangan dana. Semua siswa bisa bermain gitar, yang menjadi keterampilan wajib sekolah ini. Seperti yang saya lihat sore itu. Seorang anak berjilbab asyik membetot bass. Moeksa, salah satu murid dari Jakarta berujar: mana ada sekolah desa seperti ini yang bisa membuat album musik.

QT dan mungkin banyak komunitas lain sudah barang tentu menjadi bahan pelajaran bagi pemerintah kita dalam mengelola pendidikan di negeri ini. Institusi belajar harusnya bukan lagi sebagai obyek "pemerasan" saja tiap tahunnya, namun harus menjadi subyek keberdayaan dari komunitas sekelilingnya.


No comments: