Thursday, August 28, 2008

Ibu Yuni: Ibu bagi anak-anak Lapak

Setelah beberapa kali bertanya, sampai juga kami di bangunan berpagar kayu itu. Sebuah rumah Jawa lengkap dengan pendopo di depan. Rumah Jawa ini tampak anggun. Bukan karena arsitekturalnya saja yang menarik, sebab rumah ini rumah Joglo asli kayu jati memang sengaja diboyong empunya dari kota kretek, Kudus. Di teras rumah kami menunggu sang empu. Ketika kami menunggu, beberapa anak kecil hilir mudik di dalam pendopo. Tak lama menunggu, seorang Ibu berbaju hijau menghampiri kami. Ramah. Itu kesan pertama saya. Selain itu, Ibu yang satu ini selalu ceria. Tak ada rasa letih pun mengemuka. Itu yang aku lihat ketika bertemu. Tanpa jeda, dia bersemangat menceritakan perjalanan "membangun" rumah belajarnya ini. Persisya berada
di Jalan H Gandun, Karang Tengah, Lebak Bulus, Jakarta Selatan.














R. Ay. Tri Wahyuniati Subali Andi Firman, adalah penggagas Sekolah Merah Putih. Sekolah ini memang diperuntukkan bagi warga sekitar, khususnya anak-anak yang tinggal di lapak sampah tak jauh dari rumahnya. "Kasihan mereka mas" ujarnya. Lanjut Ibu Yuni, begitu ia biasa disapa, awalnya memang tidak mudah. Banyak tentangan dari warga, belum lagi RT setempat yang tidak mendukung kegiatan ini. Namun pelan-pelan ia mampu menyakinkan orang tua anak-anak lapak untuk memberi waktu anak-anak mereka untuk "belajar". Untuk mendekati anak-anak ini, ia semacam melakukan wawancara dengan anak-anak ini. Dari wawancara ini semua "unek-unek" anak lapak di tampung, untuk ditindaklanjuti sebagai formula yang cocok bagi proses pembelajaran berikutnya.














Sekitar 250 murid sekarang belajar di sekolah kesetaraan itu. Mereka diajarkan berbagai mata pelajaran seperti Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Kesenian, juga bela diri. Berbagai life skill juga diberikan. Kebun yang membentang di pekarangan menjadi lahan hidup pembelajaran. Mereka belajar bercocok tanam, membuat kompos, dll. Maka tak heran kebun halaman merupakan ruang belajar mereka. Semua dilakukan dengan semangat kemandirian. Artinya guru, yang mereka sebut sebagai tutor hanya bertugas sebagai teman belajar saja.
Sekolah ini membebaskan muridnya dari berbagai pungutan sebagaimana marak di sekolah formal. Semua biaya dikeluarkan Ibu Yuni dan keluarga. "Tak kurang 200 juta per bulan" ujarnya seraya menyebut sekolah ini sudah ada di 18 provinsi. Lanjutnya, untuk seragam memang ada semacam uang pengganti. Itu pun tidak besar. Hanya sebagai simultan bagi mereka supaya ada perasaan memiliki karena membeli. Dan ternyata mereka sangat antusias. Bahkan ada anak yang gak mau ganti seragam karena mereka selama ini tidak mengenal seragam sekolah.

Belajar yang menggembirakan. Itulah yang ditanamkan di sekolah ini. "Belajar itu harus bergembira". "Jika sudah bergembira pasti bisa mendapatkan ilmunya. Sementara kalau belajar sambil bermain, itu akan sulit konsentrasinya. Belajar kok main-main. Lha kapan dapat ilmunya" ujarnya mengkritisi metode sekolah serupa yang kini menjamur.

Anak-anak ini bagi Ibu Yuni adalah mutiara terpendam. Mutiara yang membuat hati Ibu Yuni sekeluarga selalu bergembira dan bersyukur. Sebab mereka mampu membantu anak-anak yang termarjinalkan oleh struktural yang membelenggu ini. Di benak anak-anak ini, Ibu Yuni selalu bertanya: "Apakah kalian mau terus mewarisi pekerjaan orang tua kalian sebagai pemulung?" Tentu jawaban serempak anak-anak ini: TIDAK. Dengan begitu, sekolah kesetaraan ini selalu dipenuhi anak-anak untuk belajar. Sebab dengan pendidikanlah jerat marjinal itu sedikit demi sedikit terurai meniti masa depan yang cerah.

No comments: