Perkembangan dunia makin melesat.
Sepintas terlihat sangat maju, tapi dalam waktu bersamaan ternyata menyisakan
serangkaian masalah. Ada masalah kesenjangan kemiskinan, kesehatan, pendidikan,
kebersihan, juga lingkungan. Terlepas memang belum
maksimalnya peran pemerintah kita –meski sudah diberi
otoritas, perlu banyak terobosan oleh semua pihak untuk menyelesaikan
masalah-masalah tersebut. Salah satu cara yang belakangan mengemuka untuk memperbaiki
masalah-masalah itu adalah dengan pendekatan social enterprise? Lho social dan enterprise? Bisnis jenis apa ini? Penjelasan arti social
enterprise –atau banyak orang menyebutnya sebagai
kewirausahaan sosial– menurut Social
Enterprise London adalah sebuah bisnis yang dijalankan untuk
menyelesaikan masalah sosial atau lingkungan. Fokus utama bisnis ini bukan
profit semata, tapi juga memikirkan bagaimana dampaknya untuk masyarakat dan
lingkungan. Makanya fokus utama social enterprise adalah 3 P: People, Planet, dan Profit.
Menurut Dondi Hananto,
pendiri Kianara Indonesia, social
enterprise berbeda dengan konsep CSR (corporate social responsibility).
Letak
perbedaannya, CSR lebih banyak mencanangkan program-program yang hit and run (menjalankan
sebuah program di suatu komunitas, dan meninggalkannya setelah masa program
selesai), sementara social enterprise lebih dari sekadar itu, melainkan ada
sebuah sustainability (keberlanjutan) di dalamnya.
Sebab di dalam social enterprise yang jadi tujuannya adalah dampak yang
dihasilkan pada masyarakat
dan biasanya bersifat jangka panjang. Jadi inti dari bisnis
ini adalah untuk menyelesaikan masalah (sosial atau lingkungan). Meski bergerak sebagai sebuah bisnis
sosial, social enterprise tetap mencari pendapatan sendiri, tidak
mengandalkan sekadar dari
donasi saja. Tentunya secara implisit di sini jelas bahwa karena tujuan bisnis itu untuk
menyelesaikan masalah, seharusnya mereka tidak membuat masalah baru. Ibaratnya
jangan sampai menyelesaikan masalah kelaparan di satu tempat tapi kemudian malah menimbulkan kondisi
kelaparan di tempat lain. Sama persis apa yang dikatakan Sulak
Sivaraksa dalam buku Pembangunan dari
Bawah ke Atas bahwa pembangunan yang sejati haruslah selaras dengan
kepentingan masyarakat dan irama alam. Manusia adalah bagian dari alam semesta,
bukan penguasanya.
Social
enterprise bertindak sebagai agen perubahan bagi
masyarakat, mengambil inisiatif atas peluang yang belum tertangkap, membangun sistem, menemukan pendekatan baru, dan menciptakan solusi terhadap
perubahan masyarakat dengan lebih baik. Jika business entrepreneur masuk
kepada industri secara keseluruhan, social enterprise datang
dengan sebuah solusi baru akan masalah sosial dan mengaplikasikannya pada skala
besar (Ashoka, 2011). Konsep social enterprise sebetulnya sudah ada
sejak lama. Gerakan ini menemukan momentumnya ketika Muhammad Yunus, pendiri
Grameen Bank di Bangladesh meraih Nobel Perdamaian pada tahun 2006. Gerakan
Yunus dianggap sebagai satu model social enterprise yang mampu
menunjukkan bahwa pemberdayaan masyarakat kurang mampu tidak hanya
menghasilkan kesejahteraan dalam konteks sosial, namun juga mampu mendatangkan
keuntungan finansial. Contoh konkritnya adalah 6 juta wanita terserap sebagai
tenaga kerja dimana beralih dari “pengemis” menjadi “pelaku UMKM”.
Social Enterprise di Indonesia
Menilik kondisi Indonesia, ternyata sudah banyak yang melakukan jenis bisnis yang yang bertumpu untuk
memberdayakan masyarakat ini. Sebut saja Bambang Ismawan, pendiri lembaga Bina
Swadaya, yang selain mengembangkan bank perkreditan rakyat, juga menelurkan
majalah Trubus yang legendaris. Di
Kendari, Sulawesi Tenggara, ada Silverius Oscar Unggul (Onte) yang mendirikan
Koperasi Hutan Jaya Lestari yang memperjuangkan perbaikan nasib petani kayu, sekaligus
untuk mencegah illegal logging. Ada juga Tri Mumpuni yang mengembangkan
mikrohidro untuk ketersediaan listrik di daerah terpencil yang tidak terjangkau
pelayanan listrik negara. Di Garut, ada nama
Goris Mustaqim, yang menggagas Asgar Muda, sebagai wadah untuk mengembangkan
pemuda Garut.
Salah satu contoh menarik ada di Bandung , ketika M. Bijaksana Junerosano, dkk mendirikan sebuah kewirausahaan sosial bernama Greeneration Indonesia (GI). GI fokus dengan
kampanye hidup ramah lingkungan melalui program kegiatannya. Untuk menunjang
organisasinya, GI mengembangkan produk tas kain lipat
pakai ulang untuk mengurangi penggunaan kantong plastik dengan nama “baGoes”. Nama baGoes adalah perpaduan antara bag dan goes, yang bermakna tas yang mudah untuk dibawa ke mana saja.
baGoes juga ejaan lama dari kata “bagus”, yang
berarti produknya berkualitas dan bermanfaat. GI melibatkan banyak sektor
industri rumah tangga di Bandung dan sekitarnya untuk memproduksi tas baGoes.
Selain ikut memberdayakan warga sekitar, sebagian keuntungan dari penjualan tas
baGoes dikembalikan lagi ke masyarakat, salah satunya dalam bentuk mesin
pencacah sampah di salah satu kelurahan di Bandung. Program lingkungan mereka adalah
program nirlaba yang murni bertujuan untuk mengajak masyarakat Indonesia untuk
menerapkan gaya hidup yang ramah lingkungan. Karena mereka memercayai
lingkungan yang lestari hanya bisa tercipta dengan perilaku masyarakat yang
lestari. Maka tak heran mereka mengusung tagline
“green attitude, green environment”.
Social Enterprise Buddhis
Lalu dimana social
enterprise Buddhis? Bila
kita amati, sebetulnya sudah ada beberapa social
enterprise yang bercorak buddhis. Setidaknya Ehipassiko Foundation sudah
memulai, dengan
visi memajukan Dharma humanistik melalui misinya studi, aksi, dan meditasi.
Selain penerbitan dan distribusi buku-buku Dharma berkualitas, program
Ehipassiko yang sangat menarik adalah beasiswa abdi desa. Program Indonesia Mengajar versi Buddhis ini,
berupaya untuk memeratakan pengajar dan dharmaduta ke pelosok-pelosok desa yang
memang selama ini kekurangan pembinaan. Ini mirip dengan program Indonesia Mengajar yang menempatkan tenaga
pengajarnya di pelosok.
Namun, komunitas Buddhis Indonesia
masih memiliki segudang permasalahan yang perlu segera dicarikan solusi. Dari
mulai persoalan pendidikan, kemiskinan, SDM, juga yang lainnya. Permasalahan Buddhis Indonesia merupakan versi mikro dari apa yang
dialami bangsa ini. Lalu apakah pendekatan social enterprise juga bisa dilakukan
untuk Buddhis Indonesia? Menurut
saya, BISA! Bagaimana caranya? Peta kekuatan Buddhis Indonesia terletak di wihara. Kenapa wihara? Sebab sudah terdapat banyak wihara dengan
kualitas bangunan dan fasilitas baik –atau bahkan sangat baik– yang hanya digunakan
sebagai tempat beribadah beberapa
jam dalam seminggu. Tentu masing-masing wilayah, daerah, atau aliran memiliki karakteristik wiharanya sendiri. Untuk itu, mulai sekarang kita harus
mulai memetakan masalahnya
dan menemukan solusinya.
Satu contoh yang menarik apa yang
dilakukan sebuah wihara di Pati, Jawa Tengah. Lahannya yang luas tidak semuanya
dibuat menjadi dhammasala. Bangunan wihara dibuat sesuai kebutuhan saja. Tidak
terlalu kecil, juga tidak terlalu mewah. Sementara tanah yang masih luas
ditanami singkong, pisang, kacang tanah, dan lain-lain. Umat bersama mengelola
semua tanaman, dan hasilnya akan digunakan untuk operasinal wihara. Sehingga
wihara tidak lagi mengalami kesulitan operasional. Jika pun masih menerima
donasi, tetapi setidaknya mereka sudah memiliki “modal” awal. Intinya mereka
sudah berusaha mandiri di atas kaki mereka sendiri. Perlahan mandiri atas
potensinya sendiri.
Demikian pula dengan beberapa wihara
yang sekarang mengembangkan pendidikan anak usia dini. Jika memang saat ini
belum bisa mandiri karena masih harus ditopang dari keuangan wihara, tetapi
lambat laun harus diupayakan untuk mandiri. Untuk tahap awal, wihara memang
harus memberi “modal”, tetapi jika diurus dengan serius, niscaya bahwa
pendidikan usia dini akan bisa mandiri. Saya memimpikan dari pendirian
pendidikan anak usia dini di wihara, 10 – 20
tahun mendatang, di lingkungan wihara tersebut akan berdiri TK, SD, SMP,
SMA, bahkan perguruan tinggi yang berbasis Buddhis. Dengan demikian, Wihara
bisa menjadi pusat kegiatan masyarakat dengan memberi kontribusi lebih luas dan
banyak.
Pada akhirnya wihara diharapkan menjadi
pusat peradaban umat Buddha itu sendiri. Wihara akan lebih guyub, yang mampu menjawab kebutuhan
umatnya, bukan hanya persoalan religi, namun juga persoalan ekonomi, budaya, bahkan
politik. Sehingga social enterprise atau kewirausahaan
sosial benar-benar menjadi jalan alternatif bagi transformasi permasalahan
sosial, tak terkecuali permasalahan sosial di Buddhis Indonesia.
No comments:
Post a Comment