
Tak kenal maka tak sayang. Rasa penasaran mengantarkanku di peraduannya. Dari sekedar numpang menghangatkan badan, hingga pada obrolan seru. Ternyata mereka sangat ramah. Ini terlihat "rumah"-nya penuh sesak para pendaki. Sementara tak ada ruang lagi bagi sepasang suami istri ini. Ia merelakan semua tempatnya "diduduki" pendaki. Dari obrolan itu ternyata Mbak To sudah naik Gn. Lawu ketika masih berusia 12 tahun. Dan sejak 1970, ia bersama istri, Mbah Panut, memutuskan berdiam di Gn. Lawu, tepatnya persis di depan Sendang Drajat. Sendang Drajat adalah satu-satunya sumber air di lereng Lawu. Tempat ini diyakini sebagai petilasan yang harus dijaga dan dilindungi. Untuk itu Mbah To, menjadi penjaga tempat keramat ini. Di sekitar Lawu sendiri terdapat banyak petilasan keramat yang sampai kini banyak dikunjungi orang, apalagi hari-hari tertentu, seperti malam 1 Suro.

Di rumah barunya itu, Mbah To & Mbah Panut membuka warung sederhana. Tujuan cuma satu, membantu pendaki yang kehabisan bekal. "Kasihan mereka mas kalau kelaparan" sambung Mbah Panut. Untuk harga tidak ada patokannya. Bahkan tak jarang banyak pendaki yang tidak bayar karena lupa. Mbah Panut berujar semua itu ia relakan. Tak ada dendam, bahkan umpatan yang terdengar. Justru ia merasa bersyukur karena sudah bisa membantu.
Mbah To & Mbah Panut, seminggu sekali bergantian turun ke bawah untuk belanja. "Nek bareng-bareng mboten saget Mas, lha sing njagi niki sinten". Mereka juga sangat jarang mengunjungi keluarga, kecuali memang ada keperluan yang sangat mendesak, seperti kematian, dll. Sementara itu, anak dan cucu dari Mbah To & Mbah Panut sudah banyak yang tinggal & bekerja di Jakarta. Mbah Panut bercerita, lebih enak tinggal di gunung daripada di kota besar. Kalau disana, aku iso nyasar mas, nek ning gunung mboten nate kesasar.
No comments:
Post a Comment