Wajahnya agak lusuh. Pertanda kurang mandi. Perawakannya agak kurus. Penutup kepala buram menempel di kepala yang penuh uban. Sekilas cuek. Tapi matanya terus berkeliaran memperhatikan kami. Mbah To, itu namanya. Suprapto nama lengkapnya. Ia bersama istrinya, Mbah Panut sudah belasan tahun menjadi penghuni lereng Gn. Lawu.
Tak kenal maka tak sayang. Rasa penasaran mengantarkanku di peraduannya. Dari sekedar numpang menghangatkan badan, hingga pada obrolan seru. Ternyata mereka sangat ramah. Ini terlihat "rumah"-nya penuh sesak para pendaki. Sementara tak ada ruang lagi bagi sepasang suami istri ini. Ia merelakan semua tempatnya "diduduki" pendaki. Dari obrolan itu ternyata Mbak To sudah naik Gn. Lawu ketika masih berusia 12 tahun. Dan sejak 1970, ia bersama istri, Mbah Panut, memutuskan berdiam di Gn. Lawu, tepatnya persis di depan Sendang Drajat. Sendang Drajat adalah satu-satunya sumber air di lereng Lawu. Tempat ini diyakini sebagai petilasan yang harus dijaga dan dilindungi. Untuk itu Mbah To, menjadi penjaga tempat keramat ini. Di sekitar Lawu sendiri terdapat banyak petilasan keramat yang sampai kini banyak dikunjungi orang, apalagi hari-hari tertentu, seperti malam 1 Suro.
Untuk menjaga Sendang Drajat ini, Mbah To membuat rumah seadanya, mereka juga menyiapkan makan dan minum bagi pendaki yang kelaparan. Rumahnya pun unik, tersela dilereng, layaknya sebuah gua. Selain bertugas menjaga Sendang Drajat, Mbah To juga diperbantukan dinas kehutanan untuk menjaga hutan sekitar Lawu. Tak jarang pula, Mbak To menjadi pihak pertama yang diberitahu ketika pendaki tersesat. Hampir semua pencarian pendaki yang hilang selalu melibatkan Mbah To. "Disini hidupku tentram Mas" ujarnya singkat. "Nek dibawah sana, semrawut" katanya beralasan.
Di rumah barunya itu, Mbah To & Mbah Panut membuka warung sederhana. Tujuan cuma satu, membantu pendaki yang kehabisan bekal. "Kasihan mereka mas kalau kelaparan" sambung Mbah Panut. Untuk harga tidak ada patokannya. Bahkan tak jarang banyak pendaki yang tidak bayar karena lupa. Mbah Panut berujar semua itu ia relakan. Tak ada dendam, bahkan umpatan yang terdengar. Justru ia merasa bersyukur karena sudah bisa membantu.
Mbah To & Mbah Panut, seminggu sekali bergantian turun ke bawah untuk belanja. "Nek bareng-bareng mboten saget Mas, lha sing njagi niki sinten". Mereka juga sangat jarang mengunjungi keluarga, kecuali memang ada keperluan yang sangat mendesak, seperti kematian, dll. Sementara itu, anak dan cucu dari Mbah To & Mbah Panut sudah banyak yang tinggal & bekerja di Jakarta. Mbah Panut bercerita, lebih enak tinggal di gunung daripada di kota besar. Kalau disana, aku iso nyasar mas, nek ning gunung mboten nate kesasar.
No comments:
Post a Comment