Friday, June 27, 2014

Menggagas Social Enterprise Buddhis di Indonesia

Perkembangan dunia makin melesat. Sepintas terlihat sangat maju, tapi dalam waktu bersamaan ternyata menyisakan serangkaian masalah. Ada masalah kesenjangan kemiskinan, kesehatan, pendidikan, kebersihan, juga lingkungan. Terlepas memang belum maksimalnya peran pemerintah kita –meski sudah diberi otoritas, perlu banyak terobosan oleh semua pihak untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Salah satu cara yang belakangan mengemuka untuk memperbaiki masalah-masalah itu adalah dengan pendekatan social enterprise? Lho social dan enterprise? Bisnis jenis apa ini? Penjelasan arti social enterprise atau banyak orang menyebutnya sebagai kewirausahaan sosial menurut Social Enterprise London adalah sebuah bisnis yang dijalankan untuk menyelesaikan masalah sosial atau lingkungan. Fokus utama bisnis ini bukan profit semata, tapi juga memikirkan bagaimana dampaknya untuk masyarakat dan lingkungan. Makanya fokus utama social enterprise adalah 3 P: People, Planet, dan Profit.

Menurut Dondi Hananto, pendiri Kianara Indonesia, social enterprise berbeda dengan konsep CSR (corporate social responsibility). Letak perbedaannya, CSR lebih banyak mencanangkan program-program yang hit and run (menjalankan sebuah program di suatu komunitas, dan meninggalkannya setelah masa program selesai), sementara social enterprise lebih dari sekadar itu, melainkan ada sebuah sustainability (keberlanjutan) di dalamnya. Sebab di dalam social enterprise yang jadi tujuannya adalah dampak yang dihasilkan pada masyarakat dan biasanya bersifat jangka panjang. Jadi inti dari bisnis  ini adalah untuk menyelesaikan masalah (sosial atau lingkungan). Meski bergerak sebagai sebuah bisnis sosial, social enterprise  tetap mencari pendapatan sendiri, tidak mengandalkan sekadar dari donasi saja. Tentunya secara implisit di sini jelas bahwa karena tujuan bisnis itu untuk menyelesaikan masalah, seharusnya mereka tidak membuat masalah baru. Ibaratnya jangan sampai menyelesaikan masalah kelaparan di satu tempat tapi kemudian malah menimbulkan kondisi kelaparan di tempat lain. Sama persis apa yang dikatakan Sulak Sivaraksa dalam buku Pembangunan dari Bawah ke Atas bahwa pembangunan yang sejati haruslah selaras dengan kepentingan masyarakat dan irama alam. Manusia adalah bagian dari alam semesta, bukan penguasanya.

Social enterprise bertindak sebagai agen perubahan bagi masyarakat, mengambil inisiatif atas peluang yang belum tertangkap, membangun sistem, menemukan pendekatan baru, dan menciptakan solusi terhadap perubahan masyarakat dengan lebih baik. Jika  business entrepreneur  masuk kepada industri secara keseluruhan, social enterprise datang dengan sebuah solusi baru akan masalah sosial dan mengaplikasikannya pada skala besar (Ashoka, 2011). Konsep social enterprise sebetulnya sudah ada sejak lama. Gerakan ini menemukan momentumnya ketika Muhammad Yunus, pendiri Grameen Bank di Bangladesh meraih Nobel Perdamaian pada tahun 2006. Gerakan Yunus dianggap sebagai satu  model social enterprise yang mampu menunjukkan bahwa  pemberdayaan masyarakat kurang mampu tidak hanya menghasilkan kesejahteraan dalam konteks sosial, namun juga mampu mendatangkan keuntungan finansial. Contoh konkritnya adalah 6 juta wanita terserap sebagai tenaga kerja dimana beralih dari pengemis menjadi pelaku UMKM.

Social Enterprise di Indonesia
Menilik kondisi Indonesia, ternyata sudah banyak yang melakukan jenis bisnis yang yang bertumpu untuk memberdayakan masyarakat ini. Sebut saja Bambang Ismawan, pendiri lembaga Bina Swadaya, yang selain mengembangkan bank perkreditan rakyat, juga menelurkan majalah Trubus yang legendaris. Di Kendari, Sulawesi Tenggara, ada Silverius Oscar Unggul (Onte) yang mendirikan Koperasi Hutan Jaya Lestari yang memperjuangkan perbaikan nasib petani kayu, sekaligus untuk mencegah illegal logging. Ada juga Tri Mumpuni yang mengembangkan mikrohidro untuk ketersediaan listrik di daerah terpencil yang tidak terjangkau pelayanan listrik negara. Di Garut, ada nama Goris Mustaqim, yang menggagas Asgar Muda, sebagai wadah untuk mengembangkan pemuda Garut.

Salah satu contoh menarik ada di Bandung, ketika M. Bijaksana Junerosano, dkk mendirikan sebuah kewirausahaan sosial bernama Greeneration Indonesia (GI). GI fokus dengan kampanye hidup ramah lingkungan melalui program kegiatannya. Untuk menunjang organisasinya, GI mengembangkan produk tas kain lipat pakai ulang untuk mengurangi penggunaan kantong plastik dengan nama baGoes. Nama baGoes adalah perpaduan antara bag dan goes, yang bermakna tas yang mudah untuk dibawa ke mana saja. baGoes juga ejaan lama dari kata bagus, yang berarti produknya berkualitas dan bermanfaat. GI melibatkan banyak sektor industri rumah tangga di Bandung dan sekitarnya untuk memproduksi tas baGoes. Selain ikut memberdayakan warga sekitar, sebagian keuntungan dari penjualan tas baGoes dikembalikan lagi ke masyarakat, salah satunya dalam bentuk mesin pencacah sampah di salah satu kelurahan di Bandung. Program lingkungan mereka adalah program nirlaba yang murni bertujuan untuk mengajak masyarakat Indonesia untuk menerapkan gaya hidup yang ramah lingkungan. Karena mereka memercayai lingkungan yang lestari hanya bisa tercipta dengan perilaku masyarakat yang lestari. Maka tak heran mereka mengusung tagline “green attitude, green environment”.

Social Enterprise Buddhis
Lalu dimana social enterprise Buddhis? Bila kita amati, sebetulnya sudah ada beberapa social enterprise yang bercorak buddhis. Setidaknya Ehipassiko Foundation sudah memulai, dengan visi memajukan Dharma humanistik melalui misinya studi, aksi, dan meditasi. Selain penerbitan dan distribusi buku-buku Dharma berkualitas, program Ehipassiko yang sangat menarik adalah beasiswa abdi desa. Program Indonesia Mengajar versi Buddhis ini, berupaya untuk memeratakan pengajar dan dharmaduta ke pelosok-pelosok desa yang memang selama ini kekurangan pembinaan. Ini mirip dengan program Indonesia Mengajar yang menempatkan tenaga pengajarnya di pelosok.

Namun, komunitas Buddhis Indonesia masih memiliki segudang permasalahan yang perlu segera dicarikan solusi. Dari mulai persoalan pendidikan, kemiskinan, SDM, juga yang lainnya. Permasalahan Buddhis Indonesia merupakan versi mikro dari apa yang dialami bangsa ini. Lalu apakah pendekatan social enterprise juga bisa dilakukan untuk Buddhis Indonesia? Menurut saya, BISA! Bagaimana caranya? Peta kekuatan Buddhis Indonesia terletak di wihara. Kenapa wihara? Sebab sudah terdapat banyak wihara dengan kualitas bangunan dan fasilitas baik –atau bahkan sangat baik– yang hanya digunakan sebagai tempat beribadah beberapa jam dalam seminggu. Tentu masing-masing wilayah, daerah, atau aliran memiliki karakteristik wiharanya sendiri. Untuk itu, mulai sekarang kita harus mulai memetakan masalahnya dan menemukan solusinya.

Satu contoh yang menarik apa yang dilakukan sebuah wihara di Pati, Jawa Tengah. Lahannya yang luas tidak semuanya dibuat menjadi dhammasala. Bangunan wihara dibuat sesuai kebutuhan saja. Tidak terlalu kecil, juga tidak terlalu mewah. Sementara tanah yang masih luas ditanami singkong, pisang, kacang tanah, dan lain-lain. Umat bersama mengelola semua tanaman, dan hasilnya akan digunakan untuk operasinal wihara. Sehingga wihara tidak lagi mengalami kesulitan operasional. Jika pun masih menerima donasi, tetapi setidaknya mereka sudah memiliki “modal” awal. Intinya mereka sudah berusaha mandiri di atas kaki mereka sendiri. Perlahan mandiri atas potensinya sendiri.

Demikian pula dengan beberapa wihara yang sekarang mengembangkan pendidikan anak usia dini. Jika memang saat ini belum bisa mandiri karena masih harus ditopang dari keuangan wihara, tetapi lambat laun harus diupayakan untuk mandiri. Untuk tahap awal, wihara memang harus memberi “modal”, tetapi jika diurus dengan serius, niscaya bahwa pendidikan usia dini akan bisa mandiri. Saya memimpikan dari pendirian pendidikan anak usia dini di wihara, 10 – 20  tahun mendatang, di lingkungan wihara tersebut akan berdiri TK, SD, SMP, SMA, bahkan perguruan tinggi yang berbasis Buddhis. Dengan demikian, Wihara bisa menjadi pusat kegiatan masyarakat dengan memberi kontribusi lebih luas dan banyak.


Pada akhirnya wihara diharapkan menjadi pusat peradaban umat Buddha itu sendiri. Wihara akan lebih guyub, yang mampu menjawab kebutuhan umatnya, bukan hanya persoalan religi, namun juga persoalan ekonomi, budaya, bahkan politik. Sehingga social enterprise atau kewirausahaan sosial benar-benar menjadi jalan alternatif bagi transformasi permasalahan sosial, tak terkecuali permasalahan sosial di Buddhis Indonesia.

Mind Power

Pelanggan saya tinggal di apartemen di Kasablanka. Sudah beberapa kali dia memesan telur ayam kampung yang saya jual. Pesanan yang biasa dianter lumayan banyak. Karena memang dia akan jual lagi. Dulu komunikasi kita via bbm, entah kenapa belakangan dia lebih suka memilih sms. Celakanya hari itu, HP saya hang. Sama sekali gak bisa dipakai. Jangankan untuk bbm, nyala saja tidak mau. Akhirnya pasrah saja untuk di servis. Hampir semingguan servis baru selesai, dan lebih celakanya lagi semua data kontak hilang. Demikian pula kontak semua pelanggan. Sementara  sudah hampir sebulan pelanggan ini belum membayar pesanan terakhirnya. Saya tidak tahu bagaimana caranya menghubungi dia. 

Hampir tiap hari saya berpikir bagaimana bisa terhubung sama pelanggan ini. Mungkin bisa juga langsung datangi saja apartemennya. Iya kalau orangnya ada, kalau gak ada? Selain memang jaraknya relatif jauh. Kegelisahan saya sampai terbawa mimpi. Entah bagaimana, hari esoknya ada nomer tidak dikenal masuk ke hp saya untuk memesan telur. Dari bahasa dan tutur katanya saya bisa meyakini kalau ini  adalah pelanggan yang selama saya cari. Segera saya tulis dan catat nomer hpnya. Supaya ketika nanti trouble lagi bisa langsung menghubungi. 

*****
Di lain kesempatan saya memikirkan pelanggan saya yang lain yang sudah agak lama tidak kontak. Gak tahu kenapa, tiba-tiba pelanggan ini justru yang mengontak duluan. Memesan dalam jumlah yang lumayan. 

Kata buku, apa yang saya alami diatas itu termasuk mind power. Kekuatan pikiran. Makanya jangan bermain dengan pikiran kita untuk hal-hal yang tidak pantas. 

Tuesday, March 25, 2014

1987 vs 2014

1987. Sebuah hari libur. Ketika itu saya ikut bapak ke pusat kota. Saya tidak tahu mau kemana. Yang ada dibenak saya ketika itu, hanya "jalan-jalan". Anak kecil mana yang tidak suka diajak jalan-jalan. Tapi kali ini tidak jalan-jalan biasa. Sebab kami menumpang sebuah truk yang sehari-hari dipakai untuk mengangkut tebu. Ternyata sudah ramai orang di dalam truk. Sebagian besar laki-laki dewasa. Yang sebagian juga membawa anaknya "jalan-jalan", sama seperti saya. Truk perlahan melaju. Jalan kampung perlahan ditinggalkan. Angin semilir menyerbu ketika truk berderu. Menembus udara segar. 

Truk berhenti di perbatasan desa, menanti warga lain untuk naik. Setelah menunggu beberapa saat, truk penuh muatan. Sawah, ladang tebu, pasar tradisional, juga perlintasan kereta pengangkut tebu terlewati. Meski naik truk, tapi suasananya sangat meriah. Hampir semua yang ada di dalam truk, memakai seragam "merah". Saya tak tahu kala itu, makna warna itu. Yang ada di pikiran sedari awal adalah "jalan-jalan". 

Hampir satu jam saya berdiri berhimpitan. Rasa kantuk mulai menyergap. Bapak terus memegang tangan saya. Berjaga kalau-kalau saya tertidur. Truk sudah mulai masuk kota. Berputar sedikit lalu parkir tak jauh dari sebuah lapangan sepak bola. Bergegas kami turun, begitu pintu belakang truk dibuka. Kami berlompatan. Terdengar dentuman sound system yang sangat keras, memekakkan telinga. Musik dangdut bersahutan, tanpa jelas vokalnya. Begitu masuk ke dalam lapangan suara itu makin keras. Di atas panggung, wanita berbibir menor berdandan seperti artis sedang menyanyi. Tak tahu lagu apa yang dilantunkan. Yang terlihat, warga dibawah panggung ikut bergoyang. Sementara saya hanya mengikuti kemana bapak melangkah. Kami mampir jajan kacang rebus dari tukang dagang keliling. Banyak orang berlalu lalang. Semuanya memakai baju merah. Bahkan dikepalanya ada juga yang plontos dengan menyisakan gambar banteng. Gak paham saya waktu itu. 

Hampir seharian saya ikut bapak "jalan-jalan". Menjelang magrib, sopir truk menyisir penumpangnya untuk diangkut pulang. Saya sengaja memilih tempat agak depan, supaya bisa selonjoran. Maklum seharian dihantam sound system yang keras, membuat tubuh letih. Intinya hari itu sangat lelah, meski juga senang. Senang karena bisa "jalan-jalan" sekaligus jajan. Saya tertidur sepanjang pulang ke desa. Saya juga tak paham acara apa yang diikuti bapak tadi. 

********

2014. TV layar datar dinyalakan. remote kecil itu memencet angka 7. Sebuah channel tv berita mengabarkan perkembangan hilangnya pesawat MAS MH730 yang sudah hampir dua minggu menghilang. Ikut sedih juga melihat berita yang belum jelas ini. 

Setelah berita soal pesawat hilang, tv berita ini menayangkan gegap gempita kampanye yang sebentar lagi kita songsong. Sejak awal minggu ini, semua acara tv memang didominasi berita kampanye. TV A banyak memberitakan partai A, karena dimiliki pengusaha A, demikian pula TV B, C, dan seterusnya. Ujung-ujungnya gak ada yang berimbang sama sekali. Saya lihat di tv, kampanye semua partai masih pakai model lama. Sama-sama bikin panggung, joget-joget, juga orang tua bawa anak-anak. Masih sama persis tahun 1987 silam. 

Lantas apa yang bisa diharap dari kampanye yang hanya mengandalkan jogat joget gak karuan seperti itu? Apa juga harus berkotbah berbusa-busa, sementara tak ada yang mendengar? Apakah tidak ada cara lain menggalang massa yang lebih santun dan produktif?

NB:
Saya mengapresiasi beberapa kawan yang akhirnya terpanggil terjun ke politik. Kenapa? Karena tanpa panggung besar, tanpa  modal besar, tanpa cover media yang besar juga tanpa apapun yang besar-besar, mereka tulus menyambangi masyarakat bawah untuk menyerap aspirasinya. 

www.wiedodo.blogspot.com

Tuesday, March 18, 2014

Idealis

Pagi itu saya mewawancara seorang calon karyawan. Sebut saja namanya Santi. Santi lulusan perguruan tinggi negeri dengan IPK 3 koma sekian. Cukup baik prestasi akademiknya dengan jurusan eksakta. 

Saya: "Apa motivasi terbesar kamu melamar kerja di sini"
Santi: "Saya ingin belajar Pak"
Saya: "Tapi ini tempat kerja, bukan sekolahan"
Santi: diam........

**********
Saya: "Baik jika kamu ingin belajar, apa yang ingin kamu pelajari disini"
Santi: "Saya ingin dapat ilmu, berkenalan dengan banyak orang, bla bla.........."
Saya: "Saat ini apa aktivitas kamu?"
Santi: "Saya sedang mengembangkan pendampingan untuk warga di sebuah kampung di Banten bersama teman-teman saya Pak".
Saya: "Lha kalau mau ketemu banyak orang, bukankah melalui program pendampingan itu kamu bisa juga melakukannya?"
Santi: "Tidak bisa Pak"
Saya: "Kenapa tidak bisa"
Santi: "Ya saya merasa tidak bisa Pak"
Saya: diam..........

**********
Saya: "Baik jika saya terima kamu, apa yang bisa kamu berikan?"
Santi: "Saya akan memberikan seluruh kemampuan saya Pak".
Saya: "Jika saya terima kamu dan saya tugaskan kamu pergi ke suatu tempat, sementara hari itu juga kamu harus berangkat melalukan pendampingan masyarakat, mana yang kamu pilih?"
Santi: "Saya memilih berangkat melakukan pendampingan Pak".
Saya: "Kenapa? 
Santi: "Karena menurut saya itu yang lebih penting".
Saya: "Terus bagaimana dengan pekerjaan utama kamu?"
Santi: @#?
Saya: "Kalau sekarang posisinya dibalik, kamu menugaskan saya untuk bekerja, sementara saya tidak mau mengerjakan, bagaimana reaksi kamu?"
Santi: *****+_
Saya: "Lalu buat apa kamu melamar pekerjaan, sementara kamu ingin memilih melakukan pendampingan masyarakat?"
Santi: diam................

******
Dari wawancara kemarin, saya banyak belajar. Dulu ketika baru saja selesai kuliah, saya juga termasuk yang sangat idealis dengan berbagai pilihan hidup. Dan pada akhirnya yang terpenting adalah kita sendiri maunya apa. Jangan-jangan idealisme kita hanya semata-mata karena pengaruh teman-teman kita? Jangan-jangan kita belum menemukan kita sendiri maunya apa. 




Kartu Kredit

Hari itu kami sekeluarga ke Medan melalui terminal 3. Selesai check in juga menyelesaikan urusan bagasi, kami segera menuju ruang tunggu. Tapi sebelumnya kami bermaksud makan malam dulu di bakmi GM. Maklum, sudah waktunya isi perut, karena perjalanan ke Medan selama 2 jam lebih. 

Begitu kaki ke arah bakmi GM, ternyata beberapa sales kartu kredit menyerbu. Menawari aplikasi yang "katanya" gratis. Kata-kata "gratis" terus diujarkan, sementara saya terus berlalu. Saya juga sudah sejak awal melambaikan tangan pertanda tidak membutuhkan. Sales kartu kredit memang saya akui sangat pantang menyerah. Saya terus dikejar sambil disodorkan berbagai hadiah langsung seandainya saya apply aplikasi kartu kreditnya. 

Selesai memilih menu, saya duduk menunggu pesanan bakmi GM tiba. Sales itu masih terus menunggu. Bahkan dia mulai bertanya, "apakah saya boleh duduk sekalian?". Saya mulai gusar. Saya jawab "saya mau makan". Saya dari awal menghargai cara kerjanya dengan menolak secara halus. Tapi jika terus mendesak seperti ini, mohon maaf saya harus agak kasar. Dan pada akhirnya jurus terakhir saya keluarkan untuk menghardiknya. "Sorry mas, saya kalau mau beli sesuatu lebih suka cash, gak ngutang". Dan sang sales pun akhirnya pergi. 

Monday, February 24, 2014

Mas Parkir

Sebuah pagi. Langit masih muram. "Harus cepat nih, kalau tidak bisa basah kuyup seperti tempo hari" gumam saya. Segera pamitan dengan orang rumah dan berlalu.

Kuda besi lawas segera dipacu. Melintasi 3 kelokan, tiba juga di jalan agak besar itu. Banyak sekali motor mengambil arah berlawanan saya. "Ada apa ya" batin saya. "Pasti ada yang gak beres". Dan betul parkir massal menyergap di depan mata. Dengan sabar saya memutuskan untuk tetap mengambil jalur itu. Sebab diujungnya berupa perempatan biasanya tidak terlalu stuck dibading jalanan sebelah yang sedari tadi menggoda karena kelancarannya. Jalanan sebelah biasanya lebih lancar, tetapi perempatannya seringkali bikin kepala nyut-nyutan. 

Setelah berjibaku 30 menitan lebih, tiba juga di kantor. Eng ing eng, baru sadar jika kartu langganan parkir tertinggal. "Damn!!!" "Ya sudah alamat keluarin duit untuk bayar parkir". Kebodohan serupa pernah juga saya alami, meski tidak sering. Pengalaman yang sudah-sudah, setiap kali tidak membawa kartu parkir langganan pasti bayar sama seperti orang pada umumnya yang tidak berlangganan. Itu adalah aturan yang tidak bisa diganggu gugat. Seharian cuma 10 ribu. Tapi meski cuma 10ribu kan lumayan juga. He..:) Ya sudah terima saja kebodohan pagi ini!!!

Siangnya saya keluar kantor untuk sebuah urusan di bank. Dan betul saja ketika di pintu keluar saya harus membayar 5000. Saya bilang ke petugas loketnya kalau kartu saya tertinggal, tapi dia bilang harus tetap bayar. Ya sudah. Lembaran Teuku Imam Bonjol itu berpindah cepat. Saya pun berlalu. 

Kembali dari urusan di bank, saya pencet tombol tanda parkir. Dan si hitam segera terparkir. Itu artinya 5000 lagi harus saya siapkan lagi ketika nanti pulang.

Waktu berlalu cepat. Sekitar pkl 19.00 saya keluar kantor. Dari kejauhan saya melihat petugas jaga loket parkir sudah berganti shift. Yang siang tadi memang orangnya ramah. Sering tegur sapa, juga tersenyum. Dan yang kali ini, mas yang biasanya dinging, kaku, jarang menegur. Cara kerjanya pun mirip robot. Tanpa berbicara biasanya segera dia ambil kartu, gesek, dan cepat mengembalikan sambil memencet tombol agar portal terbuka tanda kita boleh jalan terangkat. Itu semua dilakukan hanya dalam hitungan detik. 

Tapi hari itu dia agak berbeda. Ketika saya sodorkan kertas parkir, dia tanya kartu langganan. Alih-alih segera minta bayaran parkir, dia justru segera mengontak kawannya di kantor yang tak jauh dari loketnya. dan ketika kawannya tidak merespon, segera dipacu beat-nya ke kantor untuk mendata nomor langganan  saya. Tak sampai satu menit, dia sudah tiba lagi di loket. "Pak ini nomor langganannya dicatat ya, jadi kalaupun tidak membawa kartu langganan gak harus bayar" jelasnya. "Ok mas, terima kasih ya", sambut saya. 

Hari itu saya merasakan ada yang berbeda. Mas yang biasanya begitu pelit senyum, negur orang saja jarang terlihat. Tapi justru hari itu saya banyak dibantu. Dari segi nominal mungkin tidak seberapa. Tapi ketulusan dia dalam melayani saya patut acungkan 2 jempol. Perkataan "don't judge the book from the cover" ada benarnya juga. 

Terima kasih mas parkir. 

Wednesday, January 1, 2014

Resolusi 2014

Tahun baru dan resolusi, biasanya menjadi tak terpisahkan. Tahun baru, semangat baru. Tahun baru, bla bla baru. Bla bla baru. Biasanya yang bagus-bagus yang ditulis. Biasanya yang membawa angin kesegaran dan perubahan. 

Jika ingin berbagi, inilah beberapa daftar yang ingin saya harapkan tercapai di 2014:
1. Menjadi anak, suami, menantu, ayah, kakak, paman sebaik-baiknya. 
2. Mengurus rumah 11A dengan baik. 
3. Mengurus dan membesarkan @dwproduct. Semoga tahun ini bisa masuk retail.

Tak perlu banyak-banyak. Yang terpenting dijalani dengan penuh kesadaran. Semoga terpenuhi semua. Semoga tidak ada yang terlewat karena beragam sebab. Juga tidak terlewat karena kemalasan. 

Semoga semua makhluk berbahagia.