Sunday, June 23, 2013

22 Juni

22 Juni
Hari ini pasti berbahagia, tapi juga sekaligus sedih. Bahagia karena diingatkan kembali makna sebuah arti kelahiran. Bersedih karena jatah hidup sebagai manusia kembali berkurang. Perayaan bahagia sudah biasa digelar. Ketika sebuah kelahiran datang, bayi biasanya akan menangis. Sementara ketika kematian menjemput, justru yang ditinggalkan yang tersedu menangis. Kelahiran disambut gegap gempita seisi rumah. Kematian ditangisi seisi rumah.

22 Juni
Pertanda bahwa harus banyak kebaikan yang diperbuat. Karena jasa kebaikan inilah yang akan dibawa sebagai bekal di perjalanan berikutnya. Tak perlu lagi mati-matian mengejar apa yang tidak bisa dibawa ketika mati. 

22 Juni
Penanda hidup harus makin bermanfaat. Penanda harus menjadi lebih dewasa dan bijak. Sebab umur pasti bertambah, tapi menjadi dewasa itu pilihan. Penanda untuk terus berkawan dengan kebaikan. Sebab kebaikanlah yang akan dikenang ketika kita sudah tidak ada lagi. 

22 Juni
Pengingat bahwa Kelahiran itu adalah awal kematian (Buddha). 

Sunday, June 16, 2013

Harga Kepercayaan

Hari masih pagi ketika saya dan kawan meluncur ke barat Jakarta. Lalu lintas pagi tidak begitu ramai karena memang hari itu libur tanggal merah. Kuda besi hitam kawan mulus melaju. Meski tahun lama, tapi tenaganya masih kuat. Tujuan kami hari itu adalah rumah bisnis kawan. Saya ingin melihat dan belajar tepatnya. Beruntung kawan bermurah hati membagi. Tak banyak orang yang mau dimintai ilmu bisnisnya. Tak banyak juga bisnis yang mau "membuka" dirinya terhadap orang lain. 

Tak berselang lama, kami sampai di perumahan yang dituju. Sempat berhenti sejenak, kawan memperlihatkan selang besi yang berisi air putih limbah bisnisnya. Selang itu sendiri menempel di saluran perumahan itu. "Wid tuh liat limbahku, sengaja terpisah dari saluran" ujarnya bangga. Tepat di gang ke dua kami berhenti. Terlihat beberapa tumpukan container warna-warni. Garansi disulap menjadi pusat produksi. Kompor besar menyala. Beberapa karyawan mengaduk panci besar yang mendidih. Beberapa lainnya mengepak. Rapi dan terorganisir, itulah kesan pertamaku. Meski santai, tapi para karyawan telaten mengerjakan apa yang sudah jadi tanggung jawabnya. Rumah berlantai dua itu disulap menjadi pusat produksi bisnis kawan. Pusat semua produksi, penerimaan pesanan, administrasi, terletak di lantai satu. Sementara lantai dua dijadikan asrama untuk semua karyawan. Bisnis kawan ini meski tidak melibatkan banyak orang dan masih skala rumah tangga, tapi produknya sudah banyak tersebar di swalayan terkenal. 

Kawan terus bercerita bisnis yang sudah ditekuninya sejak 2005 silam. "Meski belum BEP, tapi kita bisa membahagiakan anak-anak dan keluarganya" ujarnya. Kawan lantas bercerita bahwa sejak pertama kali bisnis ini dimulai, modalnya cuma kepercayaan saja. "Saya tidak tiap saat kontrol kesini, anak-anak sudah tahu apa yang harus dikerjakan" lanjutnya. Kawan juga menambahkan, jika dari awal mulai driver sampai kepala produksi sudah dipesan bahwa bisnis ini bukan sekedar jualan produk. "Mereka bekerja juga bukan hanya karena butuh uang. Tapi kita bekerja untuk meraih kepercayaan. Kalau masyarakat sudah percaya sama produk kita, itu baru tolok ukur keberhasilan kita. Mereka kita didik untuk memegang teguh kepercayaan ini. Apa artinya produk kita bagus tapi masyarakat gak percaya? Bukan pula keuntungan yang kita kejar. Yang utama adalah mendapatkan kepercayaan. Keuntungan itu akan jadi bonus kalau kita sudah mendapatkan kepercayaan" ujarnya berapi-api. Aku hanya manggut-manggut saja menanggapi. "Driver juga kita ajarin betapa pentingnya produk ini sampai ke pelanggan dengan selamat dan tepat waktu" imbuhnya. 

Hari itu aku belajar sebuah harga kepercayaan. Harga yang murah sekaligus mahal. Murah karena sebetulnya tidak memerlukan biaya yang banyak, tapi juga mahal ketika kepercayaan itu terciderai oleh tingkah yang kurang terpuji. Terima kasih kawan untuk pembelajarannya hari itu. Semoga bisnismu makin maju ya. 

Thursday, June 13, 2013

anatta

Beberapa minggu lalu saya dan istri ke vihara. Sudah agak lama kami tidak beribadah. Kami putuskan untuk menyambangi vihara tempat kami menikah hampir 2 tahun silam, Saddhapala yang memang tak jauh dari rumah kami. Kebetulan masih dalam suasana Waisak, sebuah hari besar agama kami. Ada perasaan berbeda setiap kali menginjakkan kaki ke tempat ini. Ada damai terasa. Sandal kami letakkan di tempat yang memang sudah disiapkan. Masuk ke tempat ibadah kami memang harus bertelanjang kaki. 

Hampir setiap minggu, setiap puja bakti (sembahyang) selain baca paritta, juga ada penceramah. Hari itu kebetulan yang ceramah adalah Pak Handaka Vijjananda, founder Ehipassiko, sebuah yayasan yang banyak bergerak di bidang penerbitan, pelatihan, juga penyuluhan agama Buddha. Mom Han, biasa Pak Handaka di sapa. Semua orang yang ditemui biasa dipanggil Mom. Kenapa Mom? Meski kita seorang laki-laki? "tanya saya suatu kali. Mom Han, menyakini bahwa di kehidupan lampau, kita semua pernah menjadi seorang ibu dan pernah juga menjadi keluarga kita. Dan untuk menghormati sosok Ibu, setiap orang dia sapa "Mom".

Mom Han, selalu membawakan ceramahnya berbeda dengan yang lain. Tidak pernah duduk. Tidak pernah diam. Tapi selalu berdiri, sama seperti sedang berdemonstrasi. Mom Han, termasuk penceramah yang saya gemari. Materi yang dibawakan selalu kontekstual. Jarang sekali dia mengutip sesuatu yang diluar nalar kita. Semua disajikan segar. Jadi mudah mencerna dalam-dalam. 

Mom Han, hari itu berbicara tentang anatta. "Wah topik berat nih" batinku. Tak banyak orang yang bisa menjelaskan anatta secara gamblang, bahkan termasuk bhikkhu sekalipun. Anatta adalah salah satu dari trilogi agama Buddha selain Anicca (semua hal yang terkondisi tidak kekal) dan Dukkha (penderitaan). Anatta itu artinya tanpa ego, tanpa aku. 

Menurut Mom Han setidaknya ada 6 cara agar kita terbebas dari anatta:
1. Aku berubah, maka dunia berubah.
2. Sadari bahwa aku ini kotor.
3. Kotoran itu ada di dalam, bukan di luar.
4. Berlatih welas asih, kasihani semua makhluk.
5. Semua ini hanya pikiran yang muncul dan berlalu.
6. Ulangi ke-5 tahap ini seribu kali. 

Konsep terakhir dia pilih sebagai jawaban atas pertanyaan jika kita belum bisa melakukan step 1-5 secara sungguh-sungguh. Kalau diulangi terus apa memang tidak bisa? Jadi ingat konsep 1=21. Ternyata untuk membangun sebuah kebiasaan diperlukan 21 kali melakukan kegiatan tersebut secara berturut-turut tanpa putus. Misalnya kita mau bangun pagi setiap hari pukul 6, itu harus kita lakukan selama 21 hari berturut-turut. Niscaya kita akan bisa bangun pagi tepat jam 6 setiap harinya. Silahkan dicoba deh. He...:)

Pemahaman konsep anatta memang tidak mudah.

Monday, June 10, 2013

Pembangunan untuk Manusia (PuM)

Buku ini bagi saya masuk kategori yang relatif berat. Membaca buku karangan Sulak Sivaraksa harus memahami buah pikirnya di beberapa buku yang lain. Buku terjemahan yang diterbitkan oleh Himpunan Mahasiswa Buddhis Indonesia (HIKMAHBUDHI) dan Institut Nagarjuna ini layak untuk dibaca oleh siapa saja yang ingin memahami tentang pembangunan yang tidak melulu bertumpu pada kekuatan modal, tapi bertumpu pada manusia seutuhnya.

Bab Satu tentang "Utusan Surgawi".
Sulak mengaitkan 4 peristiwa penting yang membuat Pangeran Sidharta keluar istana, dengan badai krisis yang menghantam Asia medium 1998. Jika tidak ada 4 peristiwa penting, mungkin Sidharta tidak keluar istana untuk mencari obat bagi sakit, tua, dan mati. Sementara krisis 98 telah memaksa kita semua untuk mencari pembangunan alternatif yang tidak rentan dihantam krisis. Bab ini mengkritisi bahwa pembangunan yang selama ini dibanggakan ternyata "kosong" dan ambruk diterjang krisis. Seperti yang ditulis Sulak di hal 13, bahwa janji kapitalisme untuk mewujudkan emansipasi melalui pertumbuhan ekonomi yang terus-menerus, seperti yang dikatakan Jerry Mander, tiadklah masuk akal. Tidak ada yang bisa tumbuh selamanya. Semua ada batasnya. Sebelum kita semua kelewat batas menggerogoti segala hasil bumi, kita harus mengubah haluan dan membangun masa depan yang berlandaskan ada kebijaksanaan dan welas asih. Bab ini menurut saya lebih menekannya bagaimana suatu kondisi krisis dan kritis memaksa kita untuk mencari jalan lain, jalan alternatif. Kelangkaan BBM adalah "utusan surgawi". Sementara pencarian energi alternatif biodesel dari limbah salak, biopelet pengganti gas, dll adalah jalan alterantif. Sama seperti ungkapan Soe Hok Gie yang terkenal "lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan". 

Bab Dua tentang "Menciptakan Perdamaian". 
Sulak banyak membahas tentang perang yang dimotori AS. Alasan terorisme menjadi alasan kuat bagi AS untuk memberondongkan sejatanya ke segala penjuru. Terlebih paska peristiwa 9/11, dan terbukti gagal. Perang AS bukan sekedar terorisme, tapi perang dalam rangka penguasaan minyak. Sulak mengaitkan ajaran Buddha ahimsa (tanpa kekerasan) dalam bab ini. Sulak menyakini bahwa banyak cara untuk menyelesaikan peperangan. Dialog adalah kata kuncinya. Bahkan Sulak dengan tegas mengatakan daripada membelah dunia menjadi baik dan jahat, yang paling utama, kita harus melihat orang lain sebagai sesama umat manusia.

Menengok ke Indonesia, bab ini menggiring kita pada angka APBN yang menganggarkan lebih besar untuk pertahanan dibandingkan kesehatan, bahkan pendidikan. Itu artinya negara lebih memilih berdamai dengan cara membeli lebih banyak senjata daripada memperkuat kapasitas rakyatnya pentingnya sebuah perdamaian. Belum lagi soal rencana departemen pertahanan yang mengusulkan untuk diadakan satuan cadangan organik alias wajib militer yang sampai hari ini masih terus diperdebatkan. 

Bab Tiga, "Pembangunan dari Bawah ke Atas". 
Bab ini banyak menyoroti ketidakberdayaan golongan bawah. Petani yang beralih profesi berbondong menyerbu kota untuk sekedar bertahan hidup, ketika tanah garapan tak lagi menjanjikan. Belum lagi banyaknya tanah petani yang berpindah tangan ke petani berdasi. Ujungnya petani tak memiliki posisi tawar dalam hal menentukan harga pasar, harga sewa, dan upah harian. Pembangunan yang tidak merata juga jadi sebab ketidakberdayaan mereka. Meminjam pendapat Kwik Kian Gie beberapa tahun silam, golongan bawah, sebetulnya memiliki banyak potensi. Masalahnya adalah kesempatan mereka mengembangkan potensi tersebut yang tidak tersalurkan, terlebih dalam era globalisasi sekarang ini. Kesempatan menjadi kata kunci dalam menguatkan pembangunan yang berasal dari bawah. Pembangunan yang top down hanya akan menciptakan manusia robot yang patuh terhadap remote control. Yang programnya belum tentu dimaui oleh masyarakat, yang pada akhirnya pembangunan tersebut belum tentu dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Pembangunan macam ini hanya akan menghamburkan uang rakyat. Sudah waktunya kembali pada pembangunan bottom up. Masyarakatlah yang membangun dirinya sendiri. Karena masyarakatlah yang paham betul kebutuhan pembangunannya. 

Bab Empat, "Reka Ulang Pendidikan". 
Pendidikan dewasa ini telah menjadi sangat sempit wawasannya. Kita meraih gelar hanya semata-mata untuk mencari pekerjaan dengan upah tinggi. Richard Rodriguez mengatakan "Pendidikan membutuhkan reformasi diri yang radikal". Tugas universitas bukanlah mengajar, khususnya mengajar mahasiswa/i menjadi sekelompok kelas masyarakat yang spesial, istimewa. Memberi pelajaran dan melatih para murid-mengembangkan kemampuan dasar-seharusnya menjadi tugas sekolah dasar dan menengah. Universitas harusnya memprioritaskan pembelajaran sebagai prioritas utamanya. Sebab banyak pendidikan tinggi yang hanya menghasilkan para pelayan bagi penguasa, bukan menghasilkan individu rakyat yang penuh welas asih dan bertanggung jawab. 

Bab ini membawa kita kepada pemahaman bahwa dunia universitas berbeda sekali dengan dunia sekolah. Artinya kita tidak cukup hanya belajar. Rute hidup kita tidak cukup rumah/kost -  kampus saja. Rute hidup kita harus banyak, karena tidak semua yang nanti kita butuhkan terpenuhi oleh dunia kampus. Nilai tinggi, tidak menjamin kesuksesan kita kelak setelah dunia kampus berakhir. Justru proses pembelajaran yang kita lakukan di sela-sela menikmati dunia kampus yang serba dinamislah yang akan menuntun kita, ke arah mana kita kelak. Bahkan Sulak secara provokatif mengatakan pendidikan yang bersifat praktikal dan komtemplatif adalah jantung pembangunan perdamaian. 

Bab Lima, "Pemerintahan Berbasis Moral". 
Di bab ini Sulak mengatakan para penguasa haruslah tulus dan rendah hati, mau belajar dari setiap orang yang ia temui sepanjang hidupnya, bukan hanya mau menemui para teknokrat, pengusaha, dan mereka yang memiliki hak istimewa. Penyalahgunaan kekuasaan mewakili kebencian dan akumulasi harta kekayaan berlebihan mewakili keserakahan. Apabila keserakahan menjadi akar dari sebuah pemerintahan, institusi tersebut akan dengan cepat hanyut daam perangkap budaya konsumerisme dan sangatlah rentan untuk dimanipulasi oleh para pelobi dan politikus lainnya. 

Hal lain yang lebih buruk dari keserakahan dan kebencian adalah ketidaktahuan. Seorang pemimpin seharusnya bertindak dengan sikap tercerahkan, menerangi jalan menuju pemahaman holistik, sembari mengijinkan adanya perbedaan pendapat dan kritik. Artinya, seorang pemimpin itu seharusnya bersedia dikritik. Sebab kritik membantu seorang pemimpin mempersempit hak istimewanya dan menumbuhkan rasa tanggung jawabnya. 

Pemerintah yang amanah adalah yang mau mendengar dengan hati apa yang menjadi kebutuhan masyarakatnya. Mau menerima kritik. Mau mendengar kritik. Itulah pemimpin yang sejati. Bukannya justru bersembunyi, mengurung diri terhadap kritik. Atau justru berkeluh kesah terhadap kritik yang ditujukannya seolah-olah ia terzolimi oleh kritik tersebut. Jika mau memimpin, tetapi mengapa tidak mau dikritik?

Bab Enam, "Keamanan yang Sesungguhnya".
Janji pembebasan oleh kaum kapitalis melalui pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan kemajuan teknologi terbukti mustahil. Tidak ada perekonomian yang dapat terus tumbuh besar selamanya. Kemajuan teknologi bukanlah tanpa batas. Kapitalisme mensyaratkan kekayaan yang terus bertumbuh. Dalam kenyataannya, pertumbuhan ekonomi juga ikut melebarkan kesenjarangan jurang pendapatan. Visi masa depan yang berkesinambungan tidak bisa berakar pada mitos pembebasan kaum kapitalis. Masa depan semestinya dibangun atas dasar kearifan dan budaya tradisional. Masa depan dunia haruslah mencakup persepektif mengenai kesalingterikatan, yakni sebuah dunia yang dibangun atas prinsip-prinsip perdamaian, tanpa kekerasan, dan keadilan bagi semua makhluk. Kebijaksanaan yang sejati berasal dari kelapa dan hati kita. Ketika kita menyelami penderitaan diri kita dan orang lain, ketika kita bernafas dengan penuh kesadaran sepanjang hari, perdamaian dan kebahagiaan akan muncul dan kita dapat berbagi rasa damai ini dengan lainnya. Ini merupakan fondasi keamanan yang sesungguhnya.

Bab Tujuh, "Buddhisme dalam Dunia yang Berubah".
Setiap hari, puluhan ribu orang mati kelaparan di dunia yang berlimpah dengan makanan. Sistem ekonomi global menguntungkan segelintir kelompok minoritas, sementara semakin banyak orang terjerumus dalam kemiskinan. Dua puluh persen penduduk dunia mengendalikan lebih dari 80 persen kekayaan dunia. Kekuatan ekonomi globalisasi, yang dimotori IMF dan Bank Dunia tidak hanya menjerumuskan jutaan orang ke dalam kemiskinan, tetapi juga menciptakan lahan untuk mengembangbiakkan keserakahan, yang menjadi pemicu kekerasan. 

Ajaran Buddha menawarkan banyak cara untuk meringankan penderitaan dunia. Pada tingkat politik, sikap berkesadaran dapat membantu usaha kita dalam melawan budaya konsumerisme, perlakuan tidak adil terhadap perempuan, militerisme, dan paham-paham lainnya yang dapat merusak integritas kehidupan. Kesadaran dapat menjadi sarana dalam membantu kita mengkritisi masyarakat, negara, dan bahkan tradisi budaya dan agama kita secara positif dan kreatif. Daripada membenci penindas kita, lebih baik membongkar sistem yang menindas. Ada dorongan besar untuk perubahan. Dan saatnya mengutamakan manusia. 

Bab Delapan, "Nafas Perdamaian".
Sulak pada bab ini menegaskan peran penting keterlibatan agama dalam beragam masalah sosial. Betul bahwa diri sendirilah yang pertama melakukan transformasi, namun hal ini tidak serta merta harus memisahkan diri terhadap transformasi lingkungan sosial. Justru keduanya berjalan beriringan. Ibarat dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan, karena keduanya saling menguatkan. Perubahan sosial dan pertimbangan spiritual tidak dapat dipisahkan. Agama terletak pada jantung perubahan sosial, dan perubahan sosial adalah intisari agama.  

Menurut saya, kelemahan buku yang sangat padat isinya adalah contoh konkret dari setiap babnya. Termasuk contoh konkret keterlibatan Buddhis dalam membendung proyek pembangunan ala Bank Dunia atau IMF. Ibarat masakan khas Thailand, Tom Nyam, dimana Sulak berasal, buku ini lebih terasa Thailandnya, jadi perlu kerja keras untuk menyesuaikan dengan lidah orang Indonesia. 

Tuesday, June 4, 2013

Buat apa marah?

BBM pesanan saya terima dalam-dalam. Tertera alamat sang pemesan. Sebuah perumahan elit. Tercatat jelas di otak rute yang harus dilalui. Jika tersasar, gampang, tanya saja satpam. Buku yang pernah saya baca tentang konsumen, mengatakan bahwa konsumen itu adalah raja. Buku juga bilang jika kita berjanji dengan konsumen hari kamis, tetapi hari selasa atau rabu kita bisa mengirim barangnya, konsumen akan puas dengan pelayanan kita. Customer satisfaction bahasa kerennya. 

Dengan maksud menerapkan teori buku itu, saya mengantarkan pesanan hari senin. Saya memang janji mengantarkan pesanannya hari rabu, tapi senin malam saya berusaha mengantarkan dengan harapan memberi "kejutan". Kebetulan senin malam juga mengantar ke arah yang sama. Sempat tersasar, tapi beruntung satpam sigap memberi jawaban. 

Tak ada bel di rumah mewah itu. Beberapa kali di panggil juga tak ada sautan. Beruntung sang tuan rumah membuat spanduk usahanya di teras. 08xxxxx saya pencet. Lama terhubung, akhirnya diangkat juga. Saya ucapkan salam dan memberi tahu maksud kedatangan. Saya juga minta maaf jika malam-malam datang mengganggu. Di ujung telpon, sang tuan rumah tidak berkenan menerima barang pesanannya. Alasannya kok malam-malam? "Saya pamali menerima pesanan malam-malam" ujarnya di seberang sana. Saya lihat jam belum genap bergeser dari angka 8. "Padahal masih pagi" gundah saya. HP saya tutup. Tak lupa saya meminta maaf lagi. "Kejutan" yang saya siapkan ternyata "mengejutkan" saya sendiri. Di jalan arah pulang, saya sempatkan berhenti sejenak. Mengirim pesan pendek meminta maaf lagi. Saya juga sampaikan jika memang tidak jadi membeli barangnya, tidak jadi soal.

Sepanjang jalan arah pulang saya banyak berpikir. Awalnya saya kecewa sekaligus marah. Marah terhadap situasi. Marah terhadap diri sendiri. Tapi lamat laun, saya juga menyadari ternyata marah tidak menyelesaikan masalah. Saya malam itu belajar apa arti sebuah konfirmasi. "Jika memang sudah rejeki, gak akan kemana" batinku yakin. Sesampai di rumah, pesan pendek masuk lagi dari sang tuan rumah itu. "Kalau Anda tidak berminat jual juga gak papa" begitu bunyi pesannya. Saya berusaha memahami maksud pesan itu. Saya sudah tidak lagi memendam amarah. Saya release, saya legowo, apapun yang akan terjadi. Akhirnya saya bersepakat untuk mengirim barang pesanannya selasa pagi, jam 8an. Dan tepat hampir setengah 9 saya mengirimkan. Rupanya sang tuan rumah sudah menunggu. Barang saya serahkan sambil (sekali lagi) minta maaf. Sang tuan rumah terlihat masih menyimpan "kekesalan" semalam. "Makanya kalau mau antar jangan malam-malam" ujarnya. Saya amini ucapannya dengan anggukan pertanda setuju. Dia menyerahkan uang 50,000. Lalu saya kembalikan 6,000 karena harganya memang 44,000. Sebelum saya beranjak dia sempat tanya ini itu. "Mungkin basa-basi" batinku. Ketika saya akan melangkah, dia mengatakan untuk mengambil kembalian 6,000 sebagai biaya kirim. Saya menolaknya. Saya kasih tahu, kalau harga itu sudah termasuk ongkos kirim. Pagi itu saya belajar #integritas. Terserah dia mau berkomentar apa terhadap penolakan saya. Itu sikap saya. Dan sikap saya tidak bisa dibeli oleh sang tuan rumah.

Sejak kejadian semalam hingga pagi saya belajar banyak hal. Ternyata beda manusia, beda keinginan. Beda kepala, beda pula perlakuannya. Jadi ingat pelajaran pertama Mom Han di vihara beberapa waktu lalu. Kalau kita berubah, maka dunia berubah. All is Well. Gitu aja kok repot!