Tuesday, July 15, 2008

Puncak Lawu Part. III














Foto bareng di Puncak Lawu, Hargo Dumilah.














Pose bentar ah...........














Tepat dibelakangku ada dua gunung, Merapi dan Merbabu menyembul ke angkasa. Benar-benar pemandangan yang menakjubkan.


















Perjalanan kembali ke bumi. Melintas batas dan ngarai.

Puncak Lawu Part. II














Tiga kurcaci berjemur usai kedinginan yang luar biasa.














Perjalanan menuju puncak Hargo Dumilah, 3265 dpl. Penuh debu, tandus, & kering.













Rumah botol. Sebuah rumah perlawanan bagi pendaki yang tak tahu diri dengan membuang bekas botol & plastik bekas.

















Inilah pose di puncak Lawu, Hargo Dumilah, 3265 dpl.

Monday, July 14, 2008

Perjalanan menuju Hargo Dumilah, 3265 dpl














"Ning stasiun Balapan, kuto solo sing dadi kenangan" Ini adalah tempat berpijak pertama kami.














Nasi liwet Bu Tini menjadi teman pengganjal. Enak, tentu murah meriah.














Naik-naik ke puncak pick up, eh...naik-naik ke puncak gunung dingin-dingin sekali. Kiri kanan kulihat banyak................:)














Pose bentar ya. Ini tepat di depan pintu timur pendakian, "Cemoro Sewu".














Tuk wak tuk wak tuk wak. Selangkah-selangkah yang penting sampai atas deh.

Tuesday, July 8, 2008

Candi Ceto - Candi Sukuh

Pulau Jawa, lebih-lebih di wilayah Jawa Tengah, Solo, dan Yogyakarta, dikenal sebagai gudang situs purbakala berupa candi. Bangunan purba ini ada yang berlokasi di daratan, tak sedikit terbangun di daerah pegunungan, seperti Candi Ceto (Ceta), di Kelurahan Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah. Berlokasi di lereng barat Gunung Lawu yang merupakan bentang alam gunung, berbukit, dan dikelilingi tebing serta jurang nan terjal.
Memasuki kawasan Candi Ceto, tak ubahnya melakukan pendakian rohani. Sepanjang perjalanan berliku-liku melalui perkebunan teh dan hutan. Tiap tingkatan dihubungkan dengan pintu masuk hingga menuju ke tingkatan paling suci.

Dibeberapa tingkatan juga terdapat relief yang bercerita tentang kehidupan binatang, dan manusia. Hingga akhirnya di puncak tidak ada apa-apa, kecuali kosong. Kosong ini disinyalir sebagai manifestasi dari "Manunggaling Kawula Gusti", bersatunya diri manusia dengan tuhan.
Warga yang berdiam di sekitar Gunung Lawu dominan pelakon utuh ajaran Kejawen . Mereka amat menyucikan candi di kawasan berketinggian 1.400 meter dari atas permukaan laut ini.

Begitu penting arti kehadiran Candi Ceto beserta Gunung Lawu bagi warga Hindu di Karanganyar, bahkan Hindu di Nusantara. Ini bisa dipahami mengingat bangunan candi di wilayah pegunungan tua ini, merupakan candi Hindu peninggalan sisa-sisa kerajaan Majapahit. Di Candi Ceto juga banyak tersimpan arca bercerita tentang Samuderamanthana dan Garudeya, satu kisah yang diambil dari mitos Hindu. Ada pula patung Saraswati, dewi simbol kebijaksanaan yang berhiaskan peralatan sembahyang. Bahkan sesuai cerita yang berkembang di Karanganyar dan sekitarnya, Raja Majapahit, Prabhu Brawijaya V, sebelum moksa terlebih dahulu meruwat diri di Candi Sukuh yang berada di deretan bawah Candi Ceto. Usai menyucikan diri secara alam niskala, barulah sang raja mengakhiri hidupnya dengan jalan moksa di Candi Ceto. Ini memang kisah lawas yang hingga kini tetap diyakini kebenarannya oleh warga Karanganyar dan sekitarnya. Lebih-lebih lagi di areal candi, terutama pada halaman XIII, ada ditemukan arca Sabda Palon, tokoh penting dalam babak akhir Kerajaan Majapahit.

Dari sisi arsitektur, candi ini mengingatkan pada kebudayaan Maya dan Aztec kuno di Amerika Tengah. Bangunannya berbentuk punden berundak-undak, seperti halnya Candi Sukuh. Semakin ke belakang bertambah meninggi—sekaligus berarti semakin sakral, suci. Secara filosofis posisi tempat suci seperti ini menyiratkan keyakinan bahwa gunung adalah suci dan arwah nenek moyang berada di gunung. Kepercayaan seperti ini telah tumbuh dan berkembang lama, sebelum Hindu dan Budha bertumbuh di negeri ini. Keyakinan masyarakat akan posisi gunung sebagai tempat yang suci mencapai puncaknya pada masa kejayaan Raja Majapahit. Pada zaman ini, orientasi bangunan suci bukan lagi ke timur-barat, melainkan berpatokan pada gunung.

Candi ini terbagi ke dalam tiga halaman, mengikuti konsep trimandala (hulu, tengah, dan hilir) dan ada 12 teras. Masing-masing teras ditandai dengan ciri-ciri tertentu, di antaranya ada arca dan relief melambangkan ajaran Hindu.

Pada halaman pertama (terbawah) terdapat pintu masuk cukup tinggi. Di sini bisa ditemukan dua arca laki-laki yang sedang duduk bersimpuh menghadap ke arah barat, serta satu arca perempuan duduk bersimpuh menghadap ke timur. Teras berikutnya, ditandai dengan tangga masuk dan pada halaman tengah terdapat arca laki-laki. Pada teras ketiga ada bangunan gapura (candi bentar ) lumrahnya tempat suci di Bali, dan di teras empat juga terdapat arca laki-laki.
Untuk menuju teras lima, mesti melewati tangga masuk dua buah undakan dan di sebelah utara (kiri) ada punden berundak. Bangunan tua itu ditutupi sebuah bangunan kayu beratapkan ijuk. Masyarakat turunan Gunung Lawu menyebut punden berundak itu dengan nama Krincing Wesi serta dipercaya sebagai penunggu kawasan Ceto.

Di sebelah timurnya ada tiga buah lingkaran sinar, yang di bagian bawahnya terdapat arca kura-kura di atas burung garuda yang sedang mengembangkan sayapnya.
Pada sisi kiri dan kanan arca terdapat tumpukan batu sudah aus, di sebelah timurnya terdapat arca laki-laki sedang duduk menghadap ke barat. Di areal ini ada pula arca manusia berdiri menghadap barat, menggambarkan Dwarapala.

Teras delapan dilengkapi rilief kisah Adiparwa serta relief kisah Sudamala serta dua arca Dwarapala. Di teras sembilan dan sepuluh dilengkapi pendopo. Pada teras sebelas, selain ada pendopo, juga ditemukan arca Nayagenggong, yang memiliki kaitan erat dengan kisah Sabda Palon. Sedangkan arca Sabda Palon sendiri ditemukan pada teras XII. Di halaman paling atas, yang ditandai dengan gapura masuk, terdapat bangunan piramida terpancung. Belakangan lebih dikenal dengan sebutan trapezium.

Menilik lebih dalam makna simbolik pahatan-pahatan yang tergambarkan di Candi Ceto itu merupakan simbol kesuburan, mohon kesuburan dan kesejahteraan. Bukti konkret peradaban manusia kala itu dan sudah seharusnya kita bersyukur dengan peninggalan muktahir ini.

(disadur dari berbagai tulisan).

Mbah To & Mbah Panut: Penunggu Gn. Lawu

Wajahnya agak lusuh. Pertanda kurang mandi. Perawakannya agak kurus. Penutup kepala buram menempel di kepala yang penuh uban. Sekilas cuek. Tapi matanya terus berkeliaran memperhatikan kami. Mbah To, itu namanya. Suprapto nama lengkapnya. Ia bersama istrinya, Mbah Panut sudah belasan tahun menjadi penghuni lereng Gn. Lawu.

Tak kenal maka tak sayang. Rasa penasaran mengantarkanku di peraduannya. Dari sekedar numpang menghangatkan badan, hingga pada obrolan seru. Ternyata mereka sangat ramah. Ini terlihat "rumah"-nya penuh sesak para pendaki. Sementara tak ada ruang lagi bagi sepasang suami istri ini. Ia merelakan semua tempatnya "diduduki" pendaki. Dari obrolan itu ternyata Mbak To sudah naik Gn. Lawu ketika masih berusia 12 tahun. Dan sejak 1970, ia bersama istri, Mbah Panut, memutuskan berdiam di Gn. Lawu, tepatnya persis di depan Sendang Drajat. Sendang Drajat adalah satu-satunya sumber air di lereng Lawu. Tempat ini diyakini sebagai petilasan yang harus dijaga dan dilindungi. Untuk itu Mbah To, menjadi penjaga tempat keramat ini. Di sekitar Lawu sendiri terdapat banyak petilasan keramat yang sampai kini banyak dikunjungi orang, apalagi hari-hari tertentu, seperti malam 1 Suro.

Untuk menjaga Sendang Drajat ini, Mbah To membuat rumah seadanya, mereka juga menyiapkan makan dan minum bagi pendaki yang kelaparan. Rumahnya pun unik, tersela dilereng, layaknya sebuah gua. Selain bertugas menjaga Sendang Drajat, Mbah To juga diperbantukan dinas kehutanan untuk menjaga hutan sekitar Lawu. Tak jarang pula, Mbak To menjadi pihak pertama yang diberitahu ketika pendaki tersesat. Hampir semua pencarian pendaki yang hilang selalu melibatkan Mbah To. "Disini hidupku tentram Mas" ujarnya singkat. "Nek dibawah sana, semrawut" katanya beralasan.

Di rumah barunya itu, Mbah To & Mbah Panut membuka warung sederhana. Tujuan cuma satu, membantu pendaki yang kehabisan bekal. "Kasihan mereka mas kalau kelaparan" sambung Mbah Panut. Untuk harga tidak ada patokannya. Bahkan tak jarang banyak pendaki yang tidak bayar karena lupa. Mbah Panut berujar semua itu ia relakan. Tak ada dendam, bahkan umpatan yang terdengar. Justru ia merasa bersyukur karena sudah bisa membantu.

Mbah To & Mbah Panut, seminggu sekali bergantian turun ke bawah untuk belanja. "Nek bareng-bareng mboten saget Mas, lha sing njagi niki sinten". Mereka juga sangat jarang mengunjungi keluarga, kecuali memang ada keperluan yang sangat mendesak, seperti kematian, dll. Sementara itu, anak dan cucu dari Mbah To & Mbah Panut sudah banyak yang tinggal & bekerja di Jakarta. Mbah Panut bercerita, lebih enak tinggal di gunung daripada di kota besar. Kalau disana, aku iso nyasar mas, nek ning gunung mboten nate kesasar.

Puncak Lawu: Hargo Dumilah 3265 dpl



Angan-angan naik gunung akhirnya kesampaian juga. Setelah terpendam cukup lama, hasrat itu terwujud.