Tuesday, July 27, 2010

Kuda Tuli

Aku tak ingat persis hari apa itu. Suasana Jakarta tidak terlalu panas. Apalagi di kawasan Menteng masih banyak pohon. Agak enak untuk sekedar berjalan. Selepas ada keperluan di vihara di Menteng, bersama kawan kami lanjutkan perjalanan. Lalu lintas tampak normal. Tak ada yang istimewa. Jl. Imam Bonjol juga agak lengang. Tenang.

Dum... suasana tenang itu mendadak berubah. Panas. Bukan karena matahari datang, tapi panas karena kegaduhan orang. Seketika kami menyingkir mencari perlindungan. Tepatnya kami berlari menghindari massa yang terus datang entah dari mana. Makin lama makin banyak. Makin lama makin beringas saja mereka. Entah berapa jumlah mereka. Kami sudah tidak peduli. Yang penting cuma satu, menyelamatkan diri.

Setengah berjuang kami akhirnya bisa sampai juga di asrama. Radio Sonora segera kami putar besar-besar. Waktu itu seingatku TV berita belum ada. Jadi radio menjadi andalan lewat live reportnya yang gak putus-putus. Waktu itu sama sekali aku tak mengerti apa itu politik. Buta. Lamat-lamat, terdengar suara bentrokan dari radio usang kami. Agak sorean kami lihat di tv swasta, Jl. Imam Bonjol yang baru siang tadi kami lewati sudah membara. Api membumbung tinggi. Duh.

Jauh hari setelah itu, aku baru ngerti, itu adalah bagian dari mulainya pergolakan politik nasional kita. Megawati yang menang telak di kongres PDI tidak diakui pemerintah. Sementara Soeharto sudah punya PDI tandingan. Dan dia ingin PDI Soeharto inilah yang menempati gedung yang sekarang tak terurus itu. Banyak yang bilang kalau itu memang permainan Soeharto untuk mengangkangi kekuasaannya. Maklum saja, kala itu dukungan terhadap Mega jauh lebih besar. Jatuh korban tak terhitung. Tapi data valid belum juga didapat kepastiannya.

Kini sudah belasan tahun berlalu. Hingga sekarang, entah sudah berapa orang hilang tak berbekas. Negara tak lagi peduli. Negara tepatnya mengambil sikap membiarkan. Pembiaran. Ya itu mungkin kata yang paling tepat. Biarkan berlalu seiring waktu. Setelah itu banyak orang hilang tak berbekas. Sampai sekarang pun, negara tak peduli. Negara anggap semuanya angin lalu. Negara anggap mereka adalah korban sebuah perjalanan demokrasi yang memang tak perlu lagi diurus.

Bagaimana nasibmu kawan yang hilang? Yang sekarang entah dimana? Semoga arwah mereka tenang di alam sana.

Tuesday, July 13, 2010

Perubahan

Hukum alam mengatakan bahwa tidak ada yang tidak berubah kecuali perubahan itu sendiri. Ada benarnya. Dari awal kita lahir, tumbuh, berkembang, hingga mungkin sekarang banyak yang sudah dewasa, banyak yang tak menyadari perubahan itu. Tidak perlu dibandingkan kita yang masih kecil dengan yang sudah dewasa. Coba lihat saja pas photo kita satu-dua tahun lalu dengan yang sekarang. Pasti sudah banyak perbedaan, meski terkadang kita tidak menyadari perubahan itu sendiri. Entah gaya rambut, entah bentuk badan, entah pula model baju yang kita pakai. Coba telisik barang sejenak jika tidak percaya.

Perubahan memang tidak bisa dihindari. Entah kita suka atau tidak, perubahan itu akan menghampiri. Keriput, misalnya. Ibu saya, mungkin sekarang usianya nyaris 70an, keriputnya jelas dimana-mana. Terkadang agak canggung saya mencuri pandang ke wajah tuanya. Tak tega rasanya melihat. Terlebih ketika terbayang akan masih berapa lagi usia ibu saya? Tak tahu. Meski takut, siap atau tidak siap, jika memang sudah waktunya perubahan itu datang, saya harus siap. Setiap pulang meski hanya beberapa saat, tak berani rasanya saya melihat utuh wajah ibu saya.

Hari-hari kita selalu ditemani yang namanya sang perubahan ini. Perubahan bagi sebagian orang dipandang sebagai sesuatu yang harus dihindari. Yang harus ditakuti. Tapi bagi sebagian lagi yang lain, perubahan ada kesempatan. Kesempatan untuk bertindak, kesempatan untuk mencipta peluang. Dan peluang itu justru mendatangkan berbagai kesempatan. Bahkan seorang Prof. Rhenald Kasali mendirikan sebuah kawasan yang dinamai Rumah Perubahan. Diambil dari www.rumahperubahan.com, RP, sebutan untuk Rumah Perubahan, didirikan untuk menjadikan Indonesia yang lebih baik melalui misi perubahan, baik pada level individu, komunitas, organisasi usaha sosial, dan pemerintah. Di RP, selain menjadi inkubator bagi pengembangan diri, juga ada pusat pengolahan sampah, yang tentu mendatangkan berkah. Tak hanya bagi RP, tapi juga bagi warga sekitar. Selain persoalan sampah selesai, fulus ekonomi dari pengolahan sampah ini bisa menjadi income tersendiri yang tidak bisa dipandang sepele. Selain itu, ada pula beragam pemberdayaan. Seperti pendampingan pemberdayaan ikan, PAUD, posyandu, usaha kreatif, dll. Semuanya demi satu tujuan, perubahan hidup yang lebih baik.

Perubahan. Ya ya, kita semua mengalami perubahan. Usia tua, sakit, uban di kepala, itu salah satu pertanda saja. Padahal setiap saat, setiap detik, kita mengalami perubahan. Di rumah, di sekolah, di kantor, semuanya berubah seiring waktu. Orang tua meninggal, guru yang harus berpindah tugas, teman yang harus berpindah kantor, kawan yang entah berbagai sebab memang harus berpisah, semuanya itu menunjukkan ada perubahan. Pertanyaannya apakah kita sudah menyiapkan diri untuk menghadapinya? Entahlah.

Sangkar

Kawan, entah sadar atau tidak sebenarnya kita semua hidup dalam sangkar. Keturunan, jabatan, posisi, apalagi kekuasaaan semuanya serta merta memenjarakan kita dalam sangkar itu. Dengan sangkar itu, menentukan dengan siapa kita harus bergaul, dengan siapa kita harus berbicara, dan juga dengan siapa kita harus berbaik hati, bahkan jika perlu menjilat? Semua demi satu alasan: kenyamanan dalam sangkar itu. Segala tindak tanduk kita juga menentukan dimana sebenarnya sangkar kita berada?

Selama ini mungkin sangkar hanya dimaknai sebatas tempat pelihara burung saja. Semakin burung mahal, semakin mahal pula sangkarnya. Bahkan kadang, sangkar lebih mahal daripada isinya. Harganya bisa dalam kisaran ratusan bahkan jutaan. Siapa yang pelihara dan punya sangkar juga menentukan.

Hidup kita memang terjebak dalam sangkar.