Saya gak kenal siapa
Livi Zheng (LZ) ini. Saya tahu karena baca dari media. Awal sekali lihat juga
dari media, terutama tv. Di media memang beritanya penuh gegap gempita, bak
pahlawan dari medan perang. Apalagi beritanya tentang anak bangsa yang bisa tembus
holywood. Jika teman-teman ingin baca silahkan googling saja. Sudah berjilid kisah tentang dia berserak. Limawati Sudono
menulis setidaknya 3 bagian, panjang-panjang tentang dia di Geotimes. Hal yang
sama dilakukan Restu
Diantina Putri dan Joan Aurelia dari Tirto juga Dea Anugrah dari Asumsi.co. Silahkan
cerna dan kulik sendiri. Mana yang benar, mana yang tidak, saya juga tidak
tahu. Termasuk juga mana yang benar Blitar atau Malang tempat lahirnya.
Sekali lagi, di sini
saya cuma membayangkan “seandainya saya jadi dia”. Jika benar dia disokong
penuh orang tuanya, yang super kaya itu, ini yang justru akan saya lakukan:
- Alih-alih bikin film, modal bikin film justru akan saya pakai untuk mengadopsi model Pasar Papringan yang dikembangkan Mas Singgih Kartono dkk di Temanggung, Jawa Tengah untuk dibawa ke pelosok-pelosok. Pasar rakyat di pedesaan yang guyub di bawah pohon bambu nan rindang seperti inilah yang perlu terus banyak ditelurkan di beberapa daerah. Bukan semata membuka pasar, tapi juga menumbuhkan kebersamaan, guyub, gotong royong sesama warga. Tentu dengan begitu, efek ekonomi masyarakat bisa tumbuh.
- Alih-alih ikut festival film di Madrib yang itu (katanya) berbayar itu, saya malah akan pakai duitnya untuk kasih modal ke pemuda di desa untuk bikin kandang kambing. Dimana kambingnya nanti pakai sistem bagi hasil saja. Kenapa kambing? Karena gak semahal sapi. Dan perawatan kambing juga relatif lebih mudah. Selain itu kambing lebih cepat bunting dan beranak. Jadi anakannya bisa dikembangbiakan lagi warga yang lain. Usaha kambing ini bisa dilakukan disela-sela melakukan tugas utama, seperti ke sawah, ladang, dll. Pagi sampai sore ke sawah/ladang, pulangnya bawa rumput untuk kambing. Usaha kambing ini bisa jadi tambahan penghasilan bagi yang mau merawat.
- Alih-alih bikin publisitas yang tentunya butuh duit gak sedikit, saya akan pakai budgetnya untuk membuat marketplace produk pertanian, seperti Kecipir yang dikembangkan Mas Tantyo Bangun dkk. Nantinya marketplace ini bukan cuma tempat jual beli saja, tapi juga melakukan pendampingan berupa pelatihan, sharing ilmu, dll yang intinya sama-sama mengangkat para petani yang sering menjadi lapisan terbawah penghasilannya dalam rantai produk pertanian. Petani di forum ini nantinya menjadi pengambil keputusan soal harga karena merekalah yang paling tahu biaya produksi. Jadi tidak ada lagi cerita petani yang menambal lubang jalur pantura karena harganya gak masuk akal.
- Alih-alih klaim (katanya) bisa bikin film bagus, sementara filmnya cuma beberapa hari aja bertahan di bioskop, saya justru akan pakai duitnya untuk bikin peer to peer lending yang bermisi menghubungkan pelaku usaha mikro dengan pemodal secara online. Yang sudah sukses melakukan ini seperti Amartha dan Gandeng Tangan. Saya masih percaya, dengan teknologi yang tepat dan semangat gotong royong yang tinggi di Indonesia, model bisnis seperti ini bisa jadi solusi untuk mereka yang belum tersentuh bank. Terlebih berinvestasi dalam usaha mikro juga terbukti menciptakan dampak sosial. Selain itu, bisa juga budget ini dipakai untuk melakukan pendampingan usaha mikro seperti pembuatan gula semut yang dilakukan Ibu Wenny dkk di Kaloran, Jawa Tengah. Semua proses dalam usaha ini disistematisasi sehingga bisa diduplikasi untuk wilayah yang lain. Selain itu bisa juga untuk mendukung Diah Widuretno dkk di Sekolah Pagesangan SP ada di Dusun Wintaos, Girimulyo, Panggang, Gunungkidul sebagai wadah holistik untuk saling belajar di masyarakat desa. Apalagi yang dijadikan subyek utama pendampingan utama ini adalah kaum perempuan. Seperti yang disampaikan Bung Hatta “siapa yang mendidik satu laki-laki berarti telah mendidik satu manusia, sedangkan siapa yang mendidik satu perempuan berarti sedang mendidik satu generasi”
- Alih-alih bikin heboh seperti sekarang, biaya kehebohan itu justru akan saya suntikan ke usaha sosial rintisan, salah satunya Waste4Change yang dikembangkan Mas Sano dkk. Usaha sosial yang dikembangkan di Vida Bekasi ini fokus soal sampah. Saya pernah naik ke atas Bantar Gebang. Beberapa masker yang saya siapkan tidak mampu menolong. Pada akhirnya saya menyerah dan menikmati sensasi yang luar biasa “sedapnya”. Jadi saya juga paham bagaimana rumitnya isu sampah ini. Orang tahunya bayar biaya kebersihan sekian rupiah tiap bulan, tapi tahu gak kemana sampahnya berakhir? Sementara pengelolaan sampah kita masih seputar memindahkan alias angkut timbun saja? Di sisi lain, lahan TPA/TPS juga makin terbatas. Saya kutip dari pikiran-rakyat.com, mantan Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI, Isnawa Aji bilang di tahun 2019, TPST Bantargebang telah memasuki usia yang ke-30 tahun. Dari total lahan TPST seluas 110 hektare, sekitar 90 hektare di antaranya telah digunakan untuk menumpuk sampah dengan sistem 'sanitary landfill'. Dengan asumsi perhitungan setiap harinya tak kurang dari 7.400 ton sampah warga DKI Jakarta berakhir di TPST Bantargebang, hanya akan mampu menampung sampah sampai tahun 2021 saja. Setelahnya apa pernah kita pikirkan? Untuk itu, usaha sosial seperti Waste4Change perlu dibuat di banyak tempat. Supaya beban TPA/TPS berkurang dan sampah bukan lagi jadi masalah, tapi juga bisa jadi solusi bersama.
Lima poin tentu saja masih jauh dari kata cukup karena
begitu banyak hal baik dilakukan orang-orang baik di luar sana yang tentu perlu
terus kita dukung. Begitu kira-kira yang saya
lakukan “seandainya saya jadi dia”. Terlepas apa yang diperankan diatur
sedemikian rupa sama orang tuanya, tapi meminjam ucapan John D Rantau waktu
“menguliti” LZ, saya akan memilih lebih baik karya yang berbicara daripada
bacot yang bekerja.